Pages

Rabu, 16 Juni 2010

REVOLUSI POLA PIKIR GERAKAN

Suka atau pun tidak, perjalanan reformasi yang mulai menggelinding tahun 1997 lalu, kini semakin menunjukkan arah yang tidak jelas. Reformasi, yang inti nya mendambakan sebuah kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat ke arah yang lebih transparan, akuntabel dan demokratis, rupa nya tidaklah semudah yang dicanangkan. Kalau pun tidak mau disebut cenderung "mengecat langit", namun tidak benar juga bila dikatakan telah "menapak bumi". Reformasi sebagai sebuah fenomena politik, kembali dipertanyakan. Bahkan tidak sedikit juga pengamat yang menyatakan bahwa suasana sekarang identik dengan Pemerintahan Orde Baru Jilid 2.

Banyak nya "trik politik" yang dilakukan oleh elit kekuasaan, ditengarai merupakan "political game" yang diarahkan hanya sekedar untuk melanggengkan sebuah kekuasaan. Ditetapkan nya Aburizal Bakrie selaku Ketua Harian Sekretariat Gabungan Partai-Partai Koalisi Pro Pemerintah, jelas bukan sebuah faktor kebetulan, tapi boleh jadi, dari kacamata politik, hal tersebut merupakan kesengajaan. Peran dan campur tangan Presiden Sby, tentu sangat besar. Tanpa adanya restu Presiden Sby (maklum Beliau adalah Ketua nya sekaligus Ketua Dewan Pembina Partai Demorat), tidaklah mungkin seorang Aburizal Bakrie bakalan dipercaya untuk menjabat Ketua Harian Setgab.

Begitu pun dengan penetapan Syarif Hasan untuk menjadi Sekretaris Setgab. Sebab, yang menjadi pertanyaan publik, mengapa untuk posisi Sekretaris ini tidak diberikan ke kader partai yang pro Pemerintah lainnya sepertu PKS, PAN, PPP, PKB ? Namun inilah politik. Berbagi posisi dalam kekuasaan tidaklah akan berbasiskan kaedah-kaedah akademik. Justru dalam fakta di lapangan, ternyata banyak kepentingan tertentu yang menyertai nya, sekalipun jika diterjemahkan ke dalam "akal sehat" kita akan sulit membangun argumentasi nya.

Lengkap lah sudah Setgab dipimpin oleh Ketua dan Sekretaris yang berasal dari "satu kekuatan politik", yakni Partai Demokrat. Posisi Aburizal Bakrie sebagai Ketua Harian, tampak nya tetap marginal dan hanya sekedar mengoperasional program Setgab sesuai kebijakan yang dirumuskan. Keterjepitan Aburizal Bakrie secara kepolitikan, bukan lah hanya dari sisi "posisioning" nya di Setgab, namun bila kita buka kembali "lembaran kehidupan" nya di panggung politik, setidak nya ada dua hal yang hingga kini belum terjawab secara memuaskan, yaitu kasus Lapindo dan isu pengemplangan pajak hingga trilyunan rupiah. Rakyat tetap menunggu jawaban konkrit nya. Rakyat butuh sebuah kepastian. Rakyat menanti kapan "transparansi politik" akan dibuka lebar-lebar. Dan yang lebih merisaukan, jika rakyat sudah kehilangan rasa kepercayaan (sense of belonging) kepada Pemerintah.

Soal rasa sayang rakyat terhadap kelangsungan republik tercinta, tentu tidak perlu diragukan. Sejak Indonesia merdeka, selama hampir 65 tahun ini, rakyat selalu mengikuti aturan main yang ditempuh oleh para penguasa negeri. Rakyat kita selalu setia mengikuti gerak langkah pembangunan yang diskenariokan Pemerintah. Para petani tidak pernah melakukan "mogok kerja", sekalipun keberpihakan Pemerintah terhadap nasib dan kehidupan kaum tani, dinilai belum optimal. Begitu pun dengan kaum nelayan. Mereka tetap rajin melaut dan menangkap ikan, walau pun kebijakan Pemerintah di bidang kenelayanan, tidak sebagaimana yang diharapkan. Petani kebun rakyat dan petani hutan rakyat, sudah lama melakukan "penggugatan" atas ada nya lahan-lahan terlantar yang tidak dimanfaatkan secara maksimal. Namun, sekalipun tuntutan itu gencar dilakukan, kebijakan yang diluncurkan Pemerintah terkesan masih "setengah hati". Rakyat menilai, Pemerintah rupa nya asyik dengan masalah nya sendiri, sibuk dengan urusan nya sendiri dan tentu saja kurang hirau atas "felt need" masyarakat itu sendiri.

Suasana yang demikian, tentu tidak bisa dibiarkan terus menerus berlangsung. Kemesraan antara pemimpin dengan rakyat yang dipimpin nya harus semakin dioptimalkan. Di mata rakyat, soal ada atau tidak nya Setgab tidaklah terlampau dipentingkan. Apalah artinya dibentuk Setgab, bila situasi dan kondisi kehidupan rakyat masih tetap di dera oleh lingkaran setan kemiskinan yang tak berujung pangkal. Apalah makna dibentuk Pansel Pimpinan KPK, jika daya beli ekonomi rakyat semakin menurun drastis. Yang diinginkan rakyat, sebetul nya tidak muluk-muluk. Rakyat hanya berharap agar Pemerintah benar-benar mampu "mengelola" negara dan bangsa ini secara amanah, sidiq, tablig dan fatonah.

Rakyat sendiri tentu akan senang kalau para koruptor langsung saja ditindak dan tidak perlu digembar-gemborkan di media massa. Rakyat cukup diberi hasil nya saja sebagai wujud transparansi dan akuntabilitas. Rakyat tidak perlu disuguhi oleh berita belum turun nya ijin Presiden, atau dijejali informasi tentang "perang tanding" diantara sesama penegak hukum. Artinya, agak menggelikan jika sesama jendral polisi saling "jelek menjelekkan", saling menghujat dan saling mencari simpati masyarakat.

Membaca peta kehidupan yang demikian, kelihatan nya perlu ada sebuah perubahan yang sangat cepat dan mendasar, agar segudang masalah yang dihadapi tidak semakin bertumpuk. Disinilah sesungguh nya dibutuhkan sebuah revolusi. Revolusi, bukan dalam arti fisik atau sebuah gerakan rakyat, namun lebih terkait dengan makna "revolusi pola pikir" diantara sesama anak bangsa. Kita ingin agar sesama warga bangsa mampu merajut "network thinking" yang sama, utuh, terukur, terstruktur dan bertanggungjawab. Kita sangat mendambakan agar apa-apa yang selama ini menjadi keprihatinan rakyat, juga menjadi keprihatinan Presiden Sby dan jajaran nya. Apa-apa yang sekarang ini menjadi kegembiraan Presiden Sby dan pasukan nya, juga merupakan kegembiraan rakyat. Dan lain sebagai nya.

"Network thinking" inilah yang menjadi dasar penting nya revolusi pola pikir. Andaikan sejak dulu Kementrian Informasi dan Komunikasi bersama jajaran nya di Daerah, mampu merancang sebuah pola komunikasi yang berbasis "suasana kebatinan", tentu nya pola pikir kita akan terbangun secara sistemik, sehingga kita akan memiliki persepsi yang sama terhadap setiap masalah yang mengedepan dalam kehidupan sehari-hari. Sayang nya, gerakan ke arah itu tidak terlalu menjadi prioritas. Ketimbang memikirkan nasib rakyat kebanyakan, tampak nya para elit negeri ini, terkesan lebih gandrung berpikir bagaimana mempertahankan dan kalau perlu merebut kekuasaan di masa depan. Ini yang keliru dan harus direvitalisasi.

Salam Oposisi
Jangan pernah mencari Tuhan kemana-mana
Sesungguhnya Tuhan bersama orang-orang Tertindas

Tidak ada komentar: