Pages

Rabu, 16 Juni 2010

INDONESIA DI TENGAH BADAI KRISIS

Melihat dinamika perkembangan ekonomi politik mutakhir, pandangan kita akan terfokus pada rangkaian depresi massif yang kini sedang dialami masyarakat dunia tak terkecuali Indonesia. Krisis Finansial yang mulanya dipicu oleh macetnya kredit perumahan di Amerika Serikat diperkirakan para analis dan pengamat ekonomi akan berlangsung lama sampai dengan tahun 2010. Bailout Wall Street oleh Pemerintah Amerika Serikat sebesar US$700 milyar dan rencana injeksi dana ke Perbankan AS sebesar US$250 milyar semula diperkirakan akan sedikit mengerem laju jatuhnya harga-harga saham Wall Street dan Stock Exchange dunia, namun hingga saat ini belum terlihat perubahannya.

Nyatanya, dunia usaha kini sedang tunggang langgang akibat merosotnya permintaan, sementara indeks bursa saham kian merosot ke level paling rendah selama beberapa bulan terakhir. Fenomena ini tentu berakibat pada semakin melemahnya daya tahan ekonomi kita yang belum stabil sejak krisis moneter di masa lalu. Indonesia seolah sedang menghadapi badai besar yang diakibatkan konstelasi ekonomi politik global yang kian melemah pasca runtuhnya imperium keuangan Amerika Serikat tersebut.

Situasi dramatis ini akan lebih menghambat pembangunan ekonomi Indonesia. Terlebih dalam situasi ketidakpastian politik dan hukum (rule of law) yang terjadi akibat praktik politik kekuasaan di masa lalu, yang kini serpihannya masih harus kita tanggung sampai saat ini. Karena itu format pembangunan dan siasat negara dalam membendung arus depresi masif ini harus lebih intensif, terutama bagaimana dua kutub ekstrem yang selama ini terjadi dapat diperdamaikan, di satu pihak peranan penuh (kontrol) negara yang berlebihan, dan di pihak lain dominasi pasar, yang sarat manipulasi.

Dua kutub ekstrem tersebut terkait dengan proses demokratisasi di satu pihak, dan kesejahteraan di pihak lainnya. Di mana kontradiksi keduanya kerap berlangsung dalam tegangan tanpa akhir, dengan di satu pihak upaya sebagian elit (penguasa dan pengusaha) yang melihat ikhwal pentingnya peranan pasar bebas, dengan konsekuensi meminimalisir peranan negara, dan di pihak lain pentingnya fungsi regulasi untuk membendung arus pasar yang cenderung di manipulasi akibat ketidakseimbangan informasi.

Potret situasi krisis tersebut membuat semua kalangan mempertanyakan ulang ikhwal teori atau gagasan ekonomi yang selama ini dianggap paling mumpuni sebagai sebuah konsep. Konsep tersebut terutama terkait dengan doktrin ekuilibrium, atau sebuah keadaan yang diandaikan sebagai titik keseimbangan sejauh berpatokan pada sistem pasar. Para penganut fundamentalisme pasar selama ini meyakini bahwa dengan menyerahkan sepenuhnya pada pasar, tanpa campur tangan politik keadaan ekonomi diandaikan akan mencapai titik kesempurnaannya dalam keseimbangan. Namun nyatanya ketika sistem pasar bebas kini diterjang krisis finansial titik keseimbangan itu justru goyah akibat praktik pasar yang justru melepaskan dirinya dari konteks sosial politik. Pandangan yang percaya pada sepenuhnya sistem pasar, biasanya bertolak dari pandangan John Maynard Keynes, yang menyatakan bahwa ekonomi dapat mencapai ekuilibrium saat pekerjaan (employment) dapat sepenuhnya mencapai titik kesempurnaan. Dalam teori ekonomi modern kemungkinan banyaknya ekuilibrium selama ini diakui secara luas. Kemudian pandangan itu, tetap meyakini akan adanya titik ekuilibrium sejauh bertolak dari fundamentalisme pasar.

Namun dalam hal ini, pelaku pasar keuangan dan ekonom seperti Goerge Soros, justru menampik dengan menegaskan bahwa meskipun kebanyakan ahli ekonomi menganut konsep ekuilibrium, mereka tidak selalu harus fundamentalis pasar. Soros juga menambahkan bahwa konsep refleksivitas justru semakin diakui dalam teori ekonomi kontemporer, lihat misalnya Maurice Abstfeld, “Models of Currency with Self Fulfilling Feature”, (lih. European Economics Review, 1996)

Penegasan Soros tersebut merupakan kritik atas perilaku ilmuan gadungan (pseudo scientist) yang dianggapnya memaksakan kehendak, seperti dalam contoh keinginan para ilmuwan untuk merubah logam menjadi emas. Gambaran tersebut seringkali diandaikan untuk menunjukan bahwa selama ini para ilmuwan ekonomi selalu memaksakan teorinya menjadi sesuatu yang seolah menyerupai kerja-kerja ilmu alam, yang meniscayakan prinsip kepastian ilmiah melalui pembuktian-pembuktian. Padahal teori ekonomi sebagaimana umumnya teori sosial selalu tidak dapat melepaskan dirinya dari kenyataan bahwa kontruksi-kontruksi sosial sangat mepengaruhi kinerja ekonomi.

Karena itu, setiap upaya teoritis selalu akan berhadapan dengan masalah-masalah penting yang juga terkait dengan gejolak sosial. Saat ini, ketika badai krisis ekonomi menerjang, kita menjadi insyaf akan pentingnya kenyataan sosial politik, yang juga turut menentukan sistem atau tatanan ekonomi dunia. Oleh karenanya, kita ditantang untuk mencari solusi dan alternatif baru bagi tatanan ekonomi yang lebih memiliki daya tahan ke dalam dan keluar sekaligus, terutama dalam konteks Indonesia.

Mengenai pertahanan ekonomi ke dalam, hal itu menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi Indonesia untuk lebih merefleksikan dimensi krisis dari masa ke masa. Ketahanan itu terutama harus diarahkan pada aspek-aspek strategis yang memungkinkan negara seminimal mungkin untuk tidak lagi bergantung pada kinerja, baik makro maupun mikro ekonomi yang diterapkan di Dunia Barat. Meski tentu saja kita tidak dapat terlepas dari dinamika globalisasi yang memungkinkan hubungan perdagangan Internasional itu tetap memiliki pengaruh signifikan bagi perkembangan ekonomi Indonesia.

Meminjam istilah Professor J. H Boeke dalam pidatonya pada tahun 1930-an, yang diucapkannya saat menerima jabatan Guru Besar Universitas Leiden, ia mengatakan: “Di mana tidak terdapat kesatuan…dan hubungan…(seperti halnya dalam negara-negara kapitalis modern)…dan di mana suatu jurang lebar, tajam dan dalam memecah masyarakat dalam dua bagian, di sanalah berbagai masalah teori ekonomi barat kehilangan hubungannya dengan kenyataan, dan dengan demikian hilang pula nilainya.”

Pernyataan tersebut, sebagaimana ditafsirkan Guru Besar Ekonomi Universitas Columbia, Professor Bruce Glassburner, sebagai satu eksemplar yang istimewa terkait situasi ekonomi Indonesia (waktu itu Hindia Belanda), dan seringkali dia tegaskan bahwa teori ekonomi dari negara-negara Barat tidak bisa sepenuhnya diterapkan kepada masalah-masalah ekonomi di Indonesia. Dalam konteks lainnya, isyarat tersebut juga merupakan himbauan bahwa semestinya Indonesia sejak saat itu sudah seharusnya memiliki format ekonomi makro dan mikro tersendiri untuk menyiasati dinamika politik ekonomi global yang bersifat fluktuatif. Karena itu, himbauan tersebut juga mengisyaratkan bahwa ide-ide dari ilmu ekonomi semestinya dipelajari sesuai lingkup perekonomian yang bersangkutan, sehingga kerangka analisa dan metodologi dalam ilmu tersebut memiliki relevansinya bagi perkembangan ekonomi Indonesia ke depan. Dan tentu saja agar dapat menguji atau mampu mencari format tersendiri sejauhmana ketahanan ekonomi Indonesia dapat bertahan di tengah dinamika globalisasi yang kini mengalami retak patahnya akibat praktik manipulasi dan kesenjangan informasi (asimetri), yang oleh Ekonom Dunia, seperti Joseph E. Stiglitz disebut sebagai masalah ketidakseimbangan informasi akibat kepercayaan penuh pada pasar.

Edi Junaidi (Edi Benkid)
Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Paramadina
Aktivis Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Asal Sukabumi

Tidak ada komentar: