Pages

Sabtu, 19 Juni 2010

KASUS JILBAB DI SEKOLAH-SEKOLAH NEGERI DI INDONESIA TAHUN 1982-1991


OLEH:

ALWI ALATAS

* Keterangan: Artikel ini disederhanakan dari paper akademik yang diajukan untuk lomba penelitian LIPI beberapa tahun lalu, walaupun sayangnya tidak menang. Artikel lengkapnya bisa diambil pada attachment di bagian ke-3 tulisan ini. Secara umum isinya hampir sama dengan buku Revolusi Jilbab yang pernah kami tulis, hanya saja lebih ringkas dan lebih mengikuti pola penulisan akademik yang strict. Semoga bermanfaat.

Latar Belakang

Hubungan antara Pemerintah Orde Baru dengan umat Islam telah banyak mendapat perhatian dari para pengamat sosial dan politik. Sebagaimana masa-masa sebelumnya, hubungan umat Islam dan negara pada masa Orde Baru mengalami proses pasang surut. Hubungan tersebut diawali dengan adanya kerja sama di antara kedua belah pihak, kemudian terjadi ketegangan dan konflik, dan akhirnya kembali saling mengakomodasi.

Kerja sama antara kedua belah pihak di awal terbentuknya pemerintahan Orde Baru sebenarnya lebih dilandasi oleh adanya kepentingan bersama, yaitu dalam menjatuhkan rezim Orde Lama dan Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta seluruh unsur-unsurnya. Namun, begitu pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Suharto ini berhasil memantapkan kedudukannya dalam pentas politik Indonesia, hubungannya dengan umat Islam segera memburuk. Suharto dan banyak pejabat Orde Baru ketika itu agaknya lebih melihat umat Islam sebagai ancaman bagi kestabilan politik dan pembangunan daripada sebagai mitra, setidaknya sampai paruh kedua tahun 1980-an ketika ketegangan di antara keduanya mulai mencair.

Ketegangan antara umat Islam dan pemerintah mengemuka antara tahun 1967 hingga paruh pertama tahun 1980-an. Pada periode ini, pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan yang dianggap merugikan umat Islam. Sementara itu, sebagian elemen Islam menyikapi kebijakan-kebijakan pemerintah ini secara konfrontatif, sehingga hubungan di antara keduanya memburuk.

Kedua belah pihak kemudian sama-sama menyadari bahwa hubungan yang buruk ini tidak menguntungkan bagi semua pihak. Mereka pun berusaha untuk mengurangi sikap saling curiga dengan saling memahami posisi dan potensi masing-masing. Titik balik hubungan ini, mengacu pada pendapat Abdul Aziz Thaba, adalah dengan digulirkannya gagasan Pancasila sebagai asas tunggal pada tahun 1982. Gagasan ini menimbulkan reaksi, baik mendukung maupun menolak, dari berbagai organisasi masa (ormas) Islam. Namun, ketika pemerintah benar-benar menetapkan Pancasila sebagai asas tunggal pada tahun 1985, mayoritas ormas Islam yang ada di Indonesia menerimanya. Sejak itu, mulai terjadi akomodasi antara pemerintah dengan umat Islam.

Terjadinya ketegangan antara pemerintah Orde Baru yang didominasi militer dengan umat Islam bisa dipahami, mengingat struktur kekuasaan ketika itu banyak diisi oleh kaum Islam abangan. Walaupun keberadaan kaum Islam Abangan dalam pemerintahan Orde Baru ketika itu sulit dibuktikan dengan angka-angka, beberapa ahli percaya bahwa ketegangan antara pemerintah Orde Baru dan umat Islam merupakan refleksi ketegangan antara kelompok Abangan dan kelompok Santri di Indonesia. Itulah sebabnya mengapa banyak aspirasi kaum muslimin di Indonesia, khususnya aspirasi politik, yang disikapi secara negatif dan bermusuhan oleh pemerintah Orde Baru. Dalam hal politik, sikap pemerintah Orde Baru sama seperti yang dianjurkan oleh Snouck Hurgronje terhadap pemerintah Hindia Belanda pada awal abad kedua puluh, yaitu mendukung Islam sebagai praktek individu dan sosial, tetapi menolak Islam politik.

Dibatasinya ruang gerak umat Islam di bidang politik tentu tidak harus membuat mereka lumpuh dalam segala bidang. Dalam sebuah seminar di Yogyakarta, Ahmad Syafi’i Ma’arif mengatakan:

”Kelumpuhan umat Islam dalam politik tidak berarti kelumpuhan mereka bergerak dalam bidang sosial dan kultural. Justru pada periode kemacetan dalam politik inilah umat Islam punya peluang yang baik sekali untuk melancarkan dakwah Islam dengan sasaran-sasaran yang lebih strategis.”

Macetnya saluran politik umat Islam tampaknya memang telah membuat mereka menyalurkan energinya ke bidang-bidang yang lain, terutama dalam penyebaran dakwah Islam.

Ditetapkannya Pancasila sebagai asas tunggal kehidupan sosial politik di Indonesia mungkin merupakan ujian politik terbesar yang diberikan pemerintah Orde Baru terhadap umat Islam. Organisasi-organisasi pemuda yang menolak Pancasila sebagai asas tunggal, walaupun kemudian dianggap sebagai organisasi terlarang oleh pemerintah Orde Baru, tidak serta merta membubarkan diri mereka atau berhenti melakukan aktivitas. Sebagaimana dituturkan Damanik, mereka ”tetap bergerak sebagai ‘gerakan bawah tanah,’ membuat training dan pembinaan-pembinaan bagi pemuda-pemuda Islam.” Tekanan pemerintah justru membuat gerakan mereka jadi semakin ideologis dan kaderisasi yang mereka lakukan pada masa itu pada gilirannya melahirkan kader-kader muda yang militan. Kemunculan jilbab, yang menjadi tema penelitian ini, merupakan salah satu hasil dari kaderisasi dakwah yang gencar dilakukan pada masa-masa tersebut.

Pada saat yang sama, situasi internasional juga ikut mempengaruhi dinamika pergerakan Islam di Indonesia. Tahun 1970-an merupakan tahun yang penuh pergolakan di dunia Islam. Berbagai peristiwa penting seolah menandai geliat baru umat Islam di berbagai negara. Mulai dari Perang Ramadhan (1973), embargo minyak Arab yang dipimpin oleh Raja Faisal (1973), Berkuasanya Zia Ul-Haq di Pakistan berikut program Islamisasinya (1977), dimulainya jihad Afghanistan (1979), hingga berkuasanya Khomeini lewat Revolusi Iran (1979). Mungkin dalam kaitan ini pula abad XV Hijriah, yang dimulai pada tahun 1400 H, ditetapkan sebagai abad kebangkitan Islam. Gagasan kebangkitan Islam ini terus bergulir selama tahun-tahun berikutnya.

Dua hal eksternal yang disebut-sebut banyak memberikan pengaruh terhadap kemunculan jilbab di sekolah-sekolah negeri adalah Revolusi Iran yang terjadi pada tahun 1979 dan pemikiran Al-Ikhwan Al-Muslimin yang masuk ke Indonesia melalui buku-buku para tokohnya yang banyak diterjemahkan sejak tahun 1970-an. Revolusi Iran, yang dipimpin Khomeini dan berhasil menggulingkan rezim syah Iran ketika itu, ikut memberikan kontribusi bagi tumbuhnya semangat berjilbab di kalangan siswi-siswi muslim di Indonesia. Peristiwa tersebut mendapat perhatian yang luar biasa dari berbagai media masa dan memperlihatkan pada masyarakat dunia – termasuk masyarakat Indonesia – bagaimana wanita-wanita Iran menutupi tubuhnya secara rapat dengan jilbab dan busana muslimah. Namun, agaknya pengaruh ini lebih bersifat psikologis daripada ideologis, karena ideologi Syi’ah yang dianut oleh Revolusi Iran jelas-jelas tidak diadopsi atau dianut oleh siswi-siswi yang mengalami pelarangan jilbab di sekolah-sekolah negeri.

Pengaruh yang lebih ideologis agaknya berasal dari pemikiran-pemikiran Al-Ikhwan Al-Muslimin yang masuk ke Indonesia melalui buku-buku para tokohnya yang banyak diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Pemikiran Al-Ikhwan juga banyak tersosialisasi lewat training-training yang diadakan oleh masjid-masjid kampus, terutama Masjid Salman ITB lewat Latihan Mujahid Dakwah (LMD) yang dimotori oleh Ir. Imaduddin Abdul Rahim.

Awal Kemunculan Jilbab di Sekolah-Sekolah Negeri

Sejauh yang berhasil ditelusuri lewat penelitian ini, kasus paling awal yang terekam dari keseluruhan rangkaian kasus pelarangan jilbab di sekolah-sekolah negeri terjadi pada tahun 1979. Pada tahun tersebut terjadi sedikit ketegangan di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Negeri Bandung. Ada beberapa siswi sekolah tersebut yang mengenakan kerudung. Pihak sekolah kemudian bermaksud untuk memisahkan siswi-siswi ini dalam satu kelas tersendiri. Namun, siswi-siswi tersebut menolak dipisahkan dari kawan-kawannya yang tidak mengenakan jilbab. Setelah ada campur tangan dari Ketua Majelis Ulama Jawa Barat, EZ Muttaqien, pemisahan ini akhirnya tidak jadi dilakukan.

Setahun setelah itu, tahun 1980, terjadi kasus pelarangan jilbab juga di SMAN 3 dan SMAN 4 Bandung. Kurang diketahui bagaimana jalannya kasus pelarangan jilbab di kedua sekolah ini. Namun, mulai bermunculannya kasus-kasus semacam ini di Bandung menyebabkan terjadinya surat menyurat antara Majelis Ulama Jawa Barat, Kantor Wilayah (Kanwil) Departemen P dan K Jawa Barat, dan Direktur Jenderal PDM Departemen P dan K.

Pengaruh berkembangnya semangat berjilbab di kalangan pelajar sekolah menengah negeri Bandung kemungkinan besar berasal dari pelatihan-pelatihan yang diadakan Masjid Salman ITB yang pada masa itu memang aktif menyelenggarakan program Latihan Mujahid Dakwah (LMD) serta Studi Islam Intensif (SII). Pengaruh aktivitas Masjid Salman ITB tidak hanya terbatas pada kalangan mahasiswa Bandung saja, melainkan juga kalangan pelajar sekolah menengah dan kota-kota selain Bandung.

Sementara itu di Jakarta, kasus pelarangan jilbab juga mulai bermunculan. Munculnya semangat berjilbab di lingkungan sekolah menengah negeri di Jakarta banyak dipengaruhi oleh Pelajar Islam Indonesia (PII) Jakarta, kendati anjuran berjilbab ini bukan merupakan kebijakan PII tingkat nasional. Zainal Muttaqien, yang pada awal 1980-an menjabat sebagai salah satu pengurus PII wilayah Jakarta, memperkirakan Bulan Juni 1980 sebagai awal dari ”jilbabisasi” yang mereka lakukan. Setelah muncul siswi-siswi berjilbab di beberapa sekolah negeri, lewat pengaruh pelatihan-pelatihan yang diadakan PII Jakarta, ketegangan segera terjadi di beberapa sekolah seperti SMAN 30 dan SMAN 8.

Pada awal tahun 1982, terjadi satu kasus lagi pelarangan jilbab. Kali ini terjadi pada seorang siswi bernama Triwulandari, biasa dipanggil Titik, di SMAN 1 Jember. Titik juga tergerak untuk mengenakan jilbab setelah mengikuti Studi Islam Intensif (SII) di Masjid Salman ITB, Bandung, selama empat hari pada saat liburan sekolah. Karena kerudung yang dikenakannya, ia dipaksa pulang oleh kepala sekolahnya, I Made Rempet. Ia dianggap melanggar peraturan seragam sekolah dan dituduh sebagai anggota Jama’ah Imron. Ia bahkan sempat dipanggil oleh Kodim 0824 Jember dan ditanyai mengenai Jama’ah Imron. Penulis tidak memperoleh informasi bagaimana kelanjutan kasus ini.

Pelarangan Jilbab Setelah SK 052

Pada tanggal 17 Maret 1982, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Departemen P dan K) Republik Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan (SK) 052/C/Kep/D/82, yang mengatur bentuk dan penggunaan seragam sekolah di sekolah-sekolah negeri. Sebelum keluarnya SK tersebut, peraturan seragam sekolah ditetapkan oleh masing-masing sekolah negeri secara terpisah. Dengan adanya SK tersebut, maka peraturan seragam sekolah menjadi bersifat nasional dan diatur langsung oleh Departemen P dan K.

SK tersebut hampir-hampir tidak mengakomodir kemungkinan untuk menggunakan seragam sekolah dalam bentuk lain. Karenanya, kebijakan pemerintah ini segera berbenturan dengan keinginan beberapa siswi muslim di sekolah-sekolah negeri untuk menutup auratnya sesuai dengan syari’at Islam yang mereka yakini. Kalau sebelum keluarnya SK 052 saja sudah mulai bermunculan kasus-kasus pelarangan jilbab, maka setelah keluarnya SK tersebut semakin banyak siswi-siswi berjilbab yang memperoleh teguran, pelarangan, dan tekanan dari pihak sekolah. Siswi yang bersikeras untuk tetap mengenakan jilbab di lingkungan sekolah, pada akhirnya dipersilahkan untuk keluar dari sekolah negeri tempat mereka belajar dan pindah ke sekolah swasta.

Kasus pelarangan jilbab sudah mulai terjadi tidak lama setelah berlakunya SK 052. Padahal, SK itu sendiri memberi masa transisi selama dua tahun sebelum kebijakan seragam sekolah betul-betul diterapkan. Selain itu, dalam Wartasiswa yang dikeluarkan Departemen P dan K disebutkan bahwa SK 052 hanya merupakan ”pedoman” yang ”tidak memuat sanksi atau bersifat paksaan.” Namun, kenyataan di lapangan memperlihatkan banyaknya tekanan dari sekolah-sekolah negeri terhadap siswi-siswinya yang berjilbab, bahkan tidak sedikit siswi yang akhirnya dikeluarkan dari sekolah. Tekanan diberikan tidak hanya terhadap siswi, tapi juga terhadap guru yang membiarkan siswi berjilbab tetap belajar di kelasnya.

Kasus pertama yang terekam sejak keluarnya SK 052 adalah tekanan guru Olah Raga SMAN 3 Bandung terhadap delapan siswinya agar mereka melepaskan kerudung. Bukan hanya kerudung yang menjadi masalah, kedelapan siswi ini juga diwajibkan mengenakan celana pendek (hotpant) pada jam pelajaran Olah Raga. Setelah surat-menyurat yang cukup alot antara Majelis Ulama, Kanwil Departemen P dan K Jawa Barat, dan guru Olah Raga terkait, baru masalah itu bisa diselesaikan dan para siswi tetap diijinkan menggunakan kerudung pada jam-jam pelajaran, termasuk jam Olah Raga. Tapi untuk kasus yang terjadi di SMAN 68, Jakarta Pusat, beberapa bulan setelah itu, siswi yang mengenakan kerudung terpaksa menerima kenyataan harus dikeluarkan dari sekolah.

Kasus-kasus lainnya pun segera menyusul setelah itu. Semakin lama semakin banyak siswi yang mengalami konflik dengan sekolah karena jilbab yang dikenakannya. Hal ini menimbulkan reaksi dari beberapa lembaga Islam, terutama Pelajar Islam Indonesia (PII), Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Mereka menyatakan keprihatinannya terhadap kebijakan Departemen P dan K yang mulai menimbulkan korban. Majelis Ulama Indonesia (MUI), mewakili lembaga-lembaga Islam lainnya, melakukan dialog dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Menteri P dan K) dengan harapan Menteri P dan K bersedia meninjau ulang kebijakan departemennya mengenai peraturan seragam sekolah ini. Beberapa media massa, walaupun masih terbatas, memberitakan kasus-kasus pelarangan yang terjadi dan para siswa beberapa kali melakukan demonstrasi menuntut hak mengenakan jilbab di sekolah. Sayangnya, semua itu ternyata tidak banyak membuahkan hasil. Namun menariknya, siswi-siswi yang mengenakan jilbab di sekolah-sekolah negeri, terutama di Jakarta dan Bandung, terus saja bertambah.

Pada awal tahun ajaran 1984/ 1985, persis setelah berakhirnya masa transisi peraturan seragam sekolah sebagaimana diatur oleh SK 052, kasus-kasus pelarangan jilbab segera bermunculan lebih sering daripada tahun-tahun sebelumnya. Lembaga Bina Insan Kamil (LBIK) melaporkan 29 siswi berjilbab dari sembilan sekolah negeri terancam dikeluarkan. Anas melaporkan 350 siswi berkerudung di Bandung terancam dikeluarkan. Berita yang disampaikan Serial Media Dakwah lebih mengejutkan lagi. 300 pelajar puteri sekolah menengah negeri di berbagai kota seperti Jakarta, Bandung, Solo, Yogyakarta, Cirebon, Pekalongan, Surabaya, dan Sumenep, terpaksa pindah sekolah karena masalah kerudung ini. Sekolah-sekolah negeri di Bandung sendiri bersih dari jilbab pada tahun 1984. Hanya di Sumatera Barat dan Aceh jilbab tetap diperkenankan. Selain itu, tidak sedikit siswi-siswi yang terpaksa mengalah terhadap peraturan seragam sekolah dan akhirnya melepaskan jilbab yang mereka kenakan selama berada di lingkungan sekolah. Sementara di luar sekolah, mereka umumnya tetap mengenakan jilbab atau kerudung.

Babak Baru Perjuangan Jilbab di Sekolah-Sekolah Negeri

Setelah penegakan peraturan seragam sekolah yang gencar dari sekolah-sekolah negeri sepanjang tahun 1984 dan 1985, selama dua tahun berikutnya, 1986-1987, boleh dikatakan sepi dari kasus pelarangan jilbab. Siswi-siswi sekolah negeri yang masih mengenakan jilbab, terpaksa melepaskannya selama berada di lingkungan sekolah. Namun, antara tahun 1988 hingga 1991, kasus pelarangan jilbab kembali marak terjadi. Pada masa-masa ini, banyak siswi berjilbab yang memberanikan diri menuntut hak mereka untuk mengenakan jilbab di lingkungan sekolah. Tentu saja ini kembali menimbulkan konflik dengan pihak sekolah dan banyak siswi yang terancam dikeluarkan dari sekolah.

Sejak awal tahun ajaran 1988/ 1987, cukup banyak kasus pelarangan jilbab yang terjadi, bukan hanya di Jawa, tapi juga di luar Jawa. Sekolah-sekolah yang mengalami kasus ini antara lain SMAN 1, SMKK, SPG Kendari, dan SMAN Mandonga (seluruhnya di Sulawesi Utara), SMAN 30 Jakarta, SMAN 1 Arga Makmur Bengkulu, SMAN 36, dan SMAN 83 Jakarta. Siswi-siswi yang tetap ingin bertahan dengan jilbab yang dikenakannya, dikembalikan oleh sekolah kepada orang tua mereka masing-masing dan akhirnya terpaksa harus pindah ke sekolah swasta.

Perbedaan menonjol konflik jilbab pada masa ini (1988-1991) dibanding tahun-tahun sebelumnya adalah kasus pelarangan jilbab pada masa ini lebih banyak diangkat oleh media massa dan beberapa di antara kasus-kasus ini ada yang berlanjut ke pengadilan. Agaknya, perjuangan para siswi berjilbab hingga ke pengadilan inilah yang menarik perhatian pers untuk meliputnya dan pada gilirannya membuat kasus pelarangan jilbab ini diketahui lebih luas oleh masyarakat.

Media massa yang meliput berita pelarangan jilbab pada masa ini adalah majalah Panji Masyarakat, Serial Media Dakwah, Editor, Tempo, Hai, Harian Terbit, Jayakarta, Pelita, Kompas, dan Pos Kota. Media-media massa ini juga menampilkan komentar masyarakat dan tokoh yang umumnya menyatakan keprihatinan mereka terhadap apa yang menimpa siswi-siswi berjilbab di sekolah-sekolah negeri. Suara masyarakat yang umumnya disampaikan melalui surat-surat pembaca di berbagai media massa bernada cukup pedas mengecam para pejabat dan guru-guru sekolah negeri yang menghalang-halangi siswinya berjilbab.

Adapun tokoh yang ikut merespon kasus ini antara lain Dja’far Badjeber (Komisi E DPR RI), Sarwono Kusumaatmaja (Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara), Nursyahbani Katjasungkana (Direktur LBH Jakarta), KH Hasan Basri (Ketua MUI), Hartono Mardjono (Wakil Ketua DPA), Mardinsjah (Sekjen PPP), Lukman Harun (PP Muhammadiyah), Anwar Harjono (DDII), A.M. Saefudin (Direktur Pesantren Ulil Albab Bogor), dan Drs. Ridwan Saidi.

Kasus yang pertama kali berlanjut ke pengadilan adalah kasus pelarangan jilbab di SMAN 1 Bogor. Beberapa siswi yang berjilbab di sekolah ini diperbolehkan hadir belajar di kelas, tetapi di dalam absensi mereka dianggap tidak hadir dan seluruh ulangan maupun praktikum yang mereka ikuti tidak dinilai oleh guru. Selain itu, mereka juga dipanggil ke kantor sekolah setiap hari dan ditekan dengan berbagai pertanyaan yang bernada intimidatif. Setelah gagal untuk menyelesaikan hal ini secara musyawarah, empat orang tua siswi berjilbab di sekolah ini menuntut Kepala Sekolah SMAN 1 Bogor ke pengadilan. Dalam mengajukan gugatannya, mereka dibantu oleh LBH Jakarta.

Setelah penundaan sidang yang pertama, pada tanggal 2 Desember 1988, dilakukan pertemuan antara orang tua siswi, Ketua MUI Bogor, Walikota Bogor, kuasa hukum Departemen P dan K, Kandep P dan K Bogor, dan Kanwil P dan K Jawa Barat. Pertemuan itu menyepakati bahwa siswi-siswi berjilbab harus dikembalikan pada statusnya semula dan Kepala SMAN 1 Bogor harus mengajukan surat permohonan maaf pada para orang tua siswi. Pada sidang pengadilan berikutnya, Kepala SMAN 1 Bogor menyampaikan permohonan maaf dan berjanji untuk menerima kembali siswi-siswi berjilbab. Kuasa hukum siswi-siswi berjilbab menarik tuntutannya dan masalah pun dianggap selesai.

Berbeda dengan sidang pengadilan di atas yang relatif cepat dan dimenangkan oleh pihak siswi berjilbab, sidang kasus jilbab yang menimpa sepuluh siswi SMAN 68 Jakarta berlangsung sangat lama. Peristiwa bermula pada Bulan November 1988 ketika di sekolah tersebut mulai bermunculan siswi-siswi berjilbab. Siswi-siswi ini kemudian menerima tekanan terus menerus dari sekolah. Mereka harus memilih antara melepas jilbab, keluar dari kelas, atau guru yang tidak mengajar di kelas mereka. Tekanan yang diterima oleh siswi-siswi ini meningkat terus hingga akhirnya mereka sama sekali tidak diizinkan masuk ke dalam sekolah. Kebijakan ini didukung oleh Kanwil Departemen P dan K DKI Jakarta.

Setelah jalan musyawarah tidak membuahkan hasil, orang tua siswi-siswi ini kemudian menempuh jalur hukum lewat bantuan LBH Jakarta. Nursyahbani, yang menjadi kuasa hukum siswi-siswi berjilbab, kemudian menyurati Kanwil P dan K DKI Jakarta dan Menteri P dan K. Karena tidak memperoleh hasil yang diharapkan, pada tanggal 2 Maret 1989, kasus ini resmi diajukan pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Setelah beberapa kali sidang, pengadilan memutuskan untuk menolak seluruh tuntutan penggugat. Para penggugat kemudian memutuskan untuk naik banding. Dari sepuluh orang tua siswi berjilbab, kini tinggal lima yang meneruskan gugatan ke pengadilan tinggi.

Selama proses pengadilan berlangsung, siswi-siswi ini diterima belajar di lingkungan sekolah-sekolah Muhammadiyah ”dengan status belum pindah dari SMAN 68.” Karena panjangnya proses pengadilan, siswi-siswi ini akhirnya terpaksa mengurus kepindahan mereka secara resmi dari SMAN 68.

Perjuangan siswi-siswi ini di pengadilan tinggi pun rupanya mengalami kekalahan. Namun, pada tanggal 19 Desember 1990 mereka mengajukan kasasi. Bagaimana jalannya sidang setelah itu tidak lagi menarik perhatian media massa. Berita mengenai sidang pengadilan ini baru muncul beberapa tahun kemudian, yaitu pada tahun 1995, dengan kemenangan di pihak siswi-siswi berjilbab. Padahal, sejak 1991 jilbab sudah diizinkan di sekolah-sekolah negeri.

Bersamaan dengan memanasnya konflik jilbab di sekolah-sekolah negeri dan ruang pengadilan, kasus jilbab juga ikut merembet ke wilayah-wilayah lain. Di Tegal, sempat terjadi kasus penelanjangan gadis berjilbab oleh petugas keamanan sebuah toserba karena gadis tersebut dicurigai mencuri permen seharga Rp. 160,00. Yang lebih ramai lagi adalah kabar tentang wanita berjilbab menebarkan racun di pasar-pasar. Isu ini sempat menyebabkan seorang ibu berjilbab nyaris meninggal dunia dihakimi masa karena diteriaki sebagai penebar racun. Kendati pada awalnya kejadian ini sangat merugikan wanita-wanita yang mengenakan jilbab, tetapi setelah terbukti bahwa semua itu tidak benar dan nyata-nyata telah memojokkan wanita-wanita berjilbab, simpati dan pembelaan yang lebih besar mengalir pada para wanita – dan tentu saja siswi-siswi – berjilbab.

Semua peristiwa itu menimbulkan reaksi dan kemarahan umat Islam. Pada awal November 1989 berkumpul para pemuda dan mahasiswa yang mewakili 60 lembaga Islam se-Bandung di Universitas Padjadjaran untuk berunjuk rasa. Kehadiran mereka dipicu oleh isu penyebaran racun oleh wanita berjilbab yang mereka anggap sangat memojokkan Islam. Tanggal 21 Desember 1989 kembali digelar demonstrasi di Bandung menuntut kebebasan memakai jilbab.

Sementara itu, pembicaraan intensif mengenai masalah ini bergulir terus antara MUI dan Departemen P dan K yang diwakili oleh Menteri P dan K, Fuad Hasan, dan Dirjen PDM (Dikdasmen), Hasan Walinono. Kedua belah pihak kemudian sepakat untuk menyempurnakan peraturan seragam sekolah. Akhirnya, pada tanggal 16 Februari 1991, SK seragam sekolah yang baru, yaitu SK 100/C/Kep/D/1991, ditandatangani secara resmi, setelah melalui konsultasi dengan banyak pihak.

Hal ini tentu saja disambut gembira oleh siswi-siswi berjilbab serta masyarakat yang bersimpati pada perjuangan mereka. Tidak sedikit dari siswi-siswi berjilbab ini yang langsung memberanikan diri mengenakan jilbab di sekolah tidak lama setelah ditandatanganinya SK tersebut. Walaupun, SK tersebut sebenarnya baru benar-benar berlaku pada tahun ajaran baru 1991/ 1992 yang jatuh pada Bulan Juli. Pihak Humas P dan K meminta kepala-kepala sekolah negeri agar mentolerir hal ini. Dengan berlakunya SK 100 ini, maka persoalan jilbab di Indonesia secara umum sudah bisa dianggap selesai.


Analisa

Mengacu pada pembabakan hubungan Pemerintah Orde Baru dan umat Islam yang diajukan Thaba, tidak terlalu mengherankan melihat sikap Departemen P dan K terhadap fenomena jilbab yang bermunculan sejak awal tahun 1980-an. Pada periode Antagonistik (1967-1982) dan Resiprokal Kritis (1982-1985) banyak aspirasi umat Islam yang disikapi dengan penuh kecurigaan oleh pemerintah. Baru pada pertengahan periode Akomodatif (1985-1994) terjadi perubahan sikap pemerintah terhadap aspirasi umat Islam yang bersimpati dan menghendaki diizinkannya jilbab di sekolah-sekolah negeri.

Pemerintah, dalam hal ini Departemen P dan K, mencurigai adanya motif politik di balik munculnya siswi-siswi berjilbab atau setidaknya ada golongan tertentu yang memperalat siswi-siswi tersebut. Hal ini terungkap dalam penjelasan Departemen P dan K tentang seragam sekolah kepada intern jajarannya atau pada perkataan beberapa guru yang menghalangi siswi berjilbab. Agaknya inilah salah satu alasan yang mendorong mereka melarang jilbab secara tegas di sekolah-sekolah negeri. Selain itu, kurang paham dan kurang tolerannya jajaran Departemen P dan K dan sekolah-sekolah negeri terhadap syariat Islam yang diyakini siswi-siswi berjilbab, kendati kebanyakan mereka sendiri beragama Islam, tampaknya juga merupakan faktor yang perlu dipertimbangkan sebagai penyebab keluarnya SK 052 dan terjadinya berbagai kasus pelarangan jilbab.

Anggapan adanya gerakan tertentu yang berada di balik maraknya jilbab di sekolah-sekolah negeri sebenarnya tidak sepenuhnya salah. Sebagaimana bisa diikuti dalam penelitian ini, hampir seluruh siswi yang mengalami kasus ini baru mengenakan jilbab di sekolah menengah negeri, setelah mengikuti training yang diadakan oleh PII Jakarta, Masjid Salman ITB, atau lembaga lainnya. Jadi, dorongan berjilbab atau berkerudung memang menjadi bagian dari program training lembaga-lembaga tersebut, tidak muncul begitu saja. Selain itu, jika melihat kegigihan banyak siswi dalam mengenakan jilbab, bahkan hingga siap dikeluarkan dari sekolah, ini memperilhatkan bahwa semangat berjilbab di sekolah-sekolah negeri pada masa itu bukan sekedar trend atau keinginan sesaat. Jilbab, dalam arti busana muslimah yang menutupi aurat sesuai dengan syariat Islam, sudah menjadi keyakinan yang mendalam bagi siswi-siswi ini.

Sebagaimana telah disinggung pada awal penelitian ini, ada beberapa faktor yang memberikan kontribusi terhadap kemunculan jilbab di sekolah negeri. Setidaknya ada dua faktor umum yang bisa dikemukakan di sini, yaitu faktor internal dan eksternal Indonesia. Faktor internal atau dalam negeri yang ikut mempengaruhi maraknya jilbab di sekolah-sekolah negeri antara lain sikap pemerintah Orde Baru yang tidak akomodatif terhadap aspirasi umat Islam. Sikap pemerintah yang tidak menguntungkan ini pada gilirannya mendorong munculnya semangat perlawanan dan militansi dari beberapa organisasi pemuda di tingkat mahasiswa dan pelajar sekolah menengah.

Faktor eksternal yang mempengaruhi fenomena jilbab di sekolah-sekolah negeri antara lain gejala ”kebangkitan” di dunia Islam pada era tahun 1970-an dan 1980-an yang memberi dampak psikologis bagi semangat dakwah Islam di tanah air. Selain itu, faktor yang tidak kalah penting adalah banyak diterjemahkannya buku-buku para tokoh Islam Timur Tengah, yang mayoritasnya merupakan tokoh organisasi Islam Al-Ikhwan Al-Muslimin, ke dalam Bahasa Indonesia serta digunakannya pemikiran-pemikiran mereka oleh kalangan mahasiswa muslim lewat program kaderisasi mereka. Dan jilbab adalah salah satu di antara nilai-nilai Islam yang diperjuangkan oleh para pemikir Islam Internasional tersebut.

Di sinilah terjadinya pertemuan antara faktor internal, yaitu organisasi pemuda dan masjid kampus seperti PII Jakarta dan Masjid Salman ITB, dengan faktor eksternal, yaitu pemikiran tokoh-tokoh Al-Ikhwan Al-Muslimin dan pemikiran yang sejalan dengannya. Pertemuan di antara kedua faktor ini pada gilirannya melahirkan apa yang kemudian dikenal sebagai Gerakan Tarbiyah, yang belakangan bertransformasi menjadi Partai Keadilan. Gerakan inilah yang tampaknya berada di belakang perjuangan siswi-siswi berjilbab di sekolah-sekolah negeri, setidaknya sejak pertengahan tahun 1980-an.

Ali Said Damanik, yang meneliti tentang Gerakan Tarbiyah, kendati tidak membahas persoalan jilbab secara khusus di dalam bukunya, menegaskan bahwa memang gerakan inilah yang berada di balik maraknya jilbab di sekolah-sekolah negeri. Ia menuliskan,

… sampai kurang lebih sebelas tahun yang lalu, para jilbaber (pengguna jilbab) masih harus berhadapan dengan larangan, pengusiran, dan sejumlah teror yang dilakukan oleh birokrasi-birokrasi sekolah, pabrik dan perusahaan…. Tetapi, berkat keteguhan dan kesabaran para penggunanya – yang sebagian terbesarnya adalah para aktivis gerakan yang sedang kita bicarakan ini – jilbab kini bisa tampil sebagai salah satu asesoris manis yang populer.

Walaupun indikasi adanya gerakan tertentu di balik fenomena jilbab di sekolah-sekolah negeri memperoleh pembenaran melalui fakta-fakta di atas, namun larangan untuk mengenakan jilbab karena tudingan politis sulit untuk diterima oleh umat Islam. Bagaimanapun juga, jilbab tidak pernah menjadi monopoli sebuah gerakan tertentu, karena perintahnya, sebagaimana diyakini oleh banyak kaum muslimin, terdapat di dalam Al-Qur’an dan Hadits dan dijalankan oleh berbagai kelompok masyarakat muslim sejak awal kemunculan Islam di Jazirah Arab. Memang ada sebagian kalangan muslim yang memandang jilbab tidak wajib. Namun ketika keyakinan ini dipaksakan tanpa mentolerir pihak-pihak yang meyakini kewajibannya, maka pihak yang terakhir ini akan merasa terlanggar hak-haknya dalam beragama. Ketika kedua belah pihak tetap bertahan pada posisinya masing-masing maka terjadilah konflik yang berkepanjangan sebagaimana yang tampak pada penelitian ini.

Penutup

Ada beberapa kesimpulan yang bisa ditarik pada bagian penutup ini, antara lain: pertama, konflik yang terkait dengan jilbab di sekolah-sekolah negeri sangat terkait dengan kebijakan pemerintah Orde Baru terhadap umat Islam. Kedua, sikap curiga pemerintah terhadap umat Islam telah mendorong terjadinya konflik, antara lain berupa kasus-kasus pelarangan jilbab sebagaimana yang diangkat dalam penelitian ini.

Ketiga, kegigihan siswi-siswi SMA negeri dalam memperjuangkan hak untuk mengenakan jilbab atau busana muslimah di lingkungan sekolah menunjukkan bahwa semua itu pasti dilandasi oleh keyakinan dan motivasi yang kuat, bukan semata karena ikut-ikutan. Keempat, Munculnya semangat berjilbab di sekolah-sekolah negeri dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal Indonesia. Faktor internal yang menonjol adalah semakin ideologis dan militannya beberapa organisasi pelajar muslim dan masjid kampus dalam melakukan program kaderisasi sebagai dampak tekanan pemerintah yang kuat terhadap mereka. Faktor eksternal yang menonjol adalah dorongan psikologis yang diberikan oleh Revolusi Iran serta pengaruh ideologis pemikiran Al-Ikhwan Al-Muslimin yang masuk ke Indonesia, antara lain lewat buku-buku terjemahan. Kelima, adanya peran Gerakan Tarbiyah terhadap perjuangan siswi-siswi berjilbab di sekolah-sekolah negeri.

Keenam, sikap kaku pemerintah terhadap peraturan seragam sekolah telah menyebabkan persoalan ini menjadi berlarut-larut. Sekiranya pemerintah bisa bersikap lebih toleran terhadap hal ini, kasus pelarangan jilbab tentu bisa lebih cepat tertangani. Ketujuh, persoalan jilbab atau busana muslim lebih tepat dilihat dari sudut pandang hak seseorang dalam menjalankan agamanya daripada dilihat dari sudut pandang politik. Jadi, selama hak tersebut tidak merugikan kepentingan lembaga (sekolah) ataupun kepentingan orang lain, maka hak tersebut tidak perlu dilarang.

Kedelapan, bagaimanapun juga, sikap Departemen P dan K terhadap persoalan jilbab ketika itu perlu dilihat menurut suasana zamannya yang memang belum begitu bersahabat terhadap berbagai aspirasi umat Islam. Selain itu, kemunculan jilbab di sekolah-sekolah negeri dengan bentuk dan pola semacam ini memang baru pertama kali terjadi pada saat itu, sehingga Departemen P dan K belum mempunyai contoh kasus ataupun pengalaman sejenis yang bisa digunakan secara ideal dalam pengambilan keputusan. Sementara pada saat yang sama, peraturan seragam sekolah dianggap sebagai suatu hal yang penting untuk menumbuhkan rasa persatuan siswa. Adanya pengalaman – serta penelitian tentang pengalaman – ini diharapkan bisa menjadi pelajaran yang berharga untuk menghindari terjadinya peristiwa serupa di masa-masa yang akan datang.

Tidak ada komentar: