Pages

Rabu, 16 Juni 2010

KABINET DI TENGAH HUTAN M.NATSIR



Catatan untuk kader PII
Kabinet” Tengah Hutan
Thursday, 26 February 2009 11:30

Siapa pemimpin kita sekarang yang hidupnya sederhana, bersahaja dan bisa dengan mudah kita temui seperti Natsir?



Oleh: M.S Dt. Tan Kabasaran *

Pertama kali bertemu, bukan saya yang mendatanginya. Tapi ia --Mohammad Natsir, datang ke Bukittinggi di awal Januari 1950-- Muhammad Natsirmengundang untuk bertatap-muka. Kala itu, umur saya baru berusia 22 tahun. M. Natsir, kala itu, ia baru saja menjadi Ketua Partai Masyumi.

Saya aktif di Masyumi sejak belia. Berkecimpung di markas GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia) mulai dari tukang sapu, pembawa tang Natsir, hingga jadi Pengurus Wilayah GPII Sumatera Tengah. Sekarang, umur saya sudah 83 tahun.

"Angku Malin, kata pak Natsir (saat itu saya belum bergelar Datuk), jangan jauh-jauh dari ranah Minang. Saya minta Angku Malin tetap saja di kampung (Bukittinggi). Angku Malin harus menjadi tampatan (tujuan pertama) setiap pengurus Masyumi Pusat dan GPII Pusat yang datang ke ranah Minang," ujarnya kala itu.

Amanah itu, tetap saya pegang. Tenah beranjak dari ranah Minang, kendati yang memberi amanah sudah lama berpulang ke pangkuan Allah Azza Wajalla.

Saya sangat mendalami garis dasar perjuangan Masyumi, yakni mewujudkan Islam sebagai Dasar Negara Indonesia. Sudah beratus kali saya baca ulang naskah pidato beliau di muka sidang Konstituante yang bertajuk "Islam Sebagai Negara ". Dan karena itulah pertama kali saya jadi tertarik terjun ke GPII dan kemudian Masyumi.

Teladan di Tengah Hutan

M Natsir yang saya kenal adalah seorang pemimpin yang ikhlas dan istiqamah dimana dan kapan pun, bahkan ditengah hutan sekalipun. Sebagai pembawa tas, saya ikut keluar masuk hutan. Suatu ketika di dalam hutan, saya menyaksikan beliau didatangi orang kampung yang mengantarkan pucuk ubi, nangka dan segala macam sayuran. Jumlah orang kampung ingin menemuinya tak terseleksi. Seseorang berpakaian kotor, berambut kusut-masai datang sambil mengendap-ngendap padanya. Tapi, orang kampong ini dilarang pulang sebelum makan bersamanya. Bahkan, orang kampung –yang tak jelas ini—di beri tempat duduk 'istimewa’, di sebelah kanan beliau. Sedangkan di sebelah kiri, duduk ummi dan anak-anak beliau

Kebesaran pak Natsir juga tampak ketika beliau berbincang-bincang dengan orang kampung itu. Natsir mebicarakan spirit perjuangan, tapi tidak dengan bahasa 'tinggi'. Jadi, siapapun yang mau datang tidak dibebani rasa takut. Lain dengan pak Syaf (Syafruddin Prawiranegara) atau pak Bur (Burhanuddin Harahap).

Hampir dua tahun berada dalam rimba bersamanya, tak sekalipun ia minta dipapah atau ditandu. Teladan ini menumbuhsuburkan benih kesetiaan di hati kami, dan para kadernya hingga di pelosok kampung dan di pinggir hutan sekali pun. Kesetiaan para kadernya itu sangat kami rasakan dan kami saksikan.

Rimbo (hutan) pertama yang kami huni adalah rimbo Sitalang. Ini merupakan kawasan terujung dari wilayah Lubukbasung Utara berbatasan dengan Palembayan, hanya satu jam sudah dekat dengan lokasi tentara terlatih. Di sebuah dangau , di tengah rimba Sitalang itulah pak Natsir diungsikan dari kejaran tentara Soekarno. Lebih delapan bulan beliau ada di sini. Tapi tidak pernah tercium oleh tentara Soekarno. Masyarakat benar-benar berjuang menyelamatkan keberadaanya. Sehingga tidak ada orang yang tahu lokasinya. Bila pun ada yang tahu, tapi masyarakat benar-benar bisa menutup mulut. Begitulah kharisma pak Natsir di hati ummat.

Natsir berada dalam persembunyian itu selama lebih 11 bulan dengan aman. Barulah keluar dari hutan melalui Aia Kijang setelah Ketua Dewan Perjuangan PRRI, Ahmad Husein, mengumumkan dihentikannya perlawanan, pada awal Juni 1961.

Perlawanan M Natsir —bahkan ada yang menyebut pemberontakan PRRI dan RPI—oleh RZ Leirissa, dalam buku PRRI Permesta: Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis, merupakan usaha untuk menggalang kesatuan di antara berbagai kelompok dalam bangsa Indonesia yang menolak konsepsi Presiden Soekarno dan pengaruh komunisme. Menurut Leirissa, PRRI sejak awal tak berniat memberontak. Namun, setelah Soekarno mengeluarkan amnesty, membuat Natsir turun gunung.

Kabinet Tengah Malam

Ada kenangan yang membuat saya tak pernah bisa tidur terkait dengan pak Natsir. Saat itu terdengar rencana kaum Kristen mendirikan Rumah Sakit Baptis di Bukittinggi. Allah SWT berkehendak lain, rencana jangka panjang mereka dengan RS Baptis itu "bocor" keluar. Saya berhasil mendapatkan anggaran dasar mereka melalui seorang kader . Bocoran itu lalu kami sebarkan ke masyarakat sehingga setiap upaya Baptis membeli tanah, berhasil kami gagalkan.

Kemudian kami "tabik pangana", perjuangan harus diarahkan bukan lagi pada pemilik tanah karena "kijang lah lapeh karimbo", tetapi kepada "pemilik" kota ini yaitu pemerintah. Caranya dengan mendesak DPRD bersidang dan mengeluarkan keputusan agar Walikota tidak memberi izin pembangunan RS Baptis. Kegagalan ini membuat misi terselubung lewat Rumah Sakit menjadi sedikit cerdas. Mereka berpindah-pindah memanfaatkan cara dengan membeli tanah masyarakat di berbagai tempat.

“Perjuangan” akhirnya harus dirobah dengan cara lebih strategis. Yakni mendesak Ketua DPRD Bukit Tinggi, kala itu, Munir Marzuki Datuk Sutan Maharajo, untuk menjelaskan masalah ini.

"Kami minta DPRD melaksanakan rapat pleno darurat dengan keputusan melarang Walikota Bukittinggi memberikan izin bangunan kepada Baptis," ujar saya mewakili teman-teman.

Gayung bersambut, ketua DPRD terbakar semangatnya melaksanakan rapat darurat. Kader Masyumi yang di parlemen --memang teruji kesetiaannya pada perjuangan umat-- mendadak mengumpulkan anggota dewan, lalu membicarakan tuntutan kami yang mendesak dilaksanakannya 'sidang istimewa' DPRD Bukittinggi dengan agenda tunggal melahirkan keputusan melarang saudara Walikota mengeluarkan izin bangunan bagi RS Baptis.

Maka, singkat kata, dalam perdebatan yang cukup hangat di siang itu, akhirnya DPRD sepakat menggelar Sidang Darurat. Bahkan tuntutan kami agar Sidang Darurat dilaksanakan dalam tempo 1x24 jam lagi, ternyata mereka penuhi. Walau saat itu puasa (Ramadhan). Besok malamnya, DPRD Bukittinggi melaksanakan Sidang Darurat di kantornya, di sebelah Masjid Raya sekarang.

Inilah peristiwa pertama DPRD bersidang malam hari, dengan agenda tunggal yang terkait dengan nasib umat. Sidang disaksikan umat Islam Bukittinggi yang datang berduyun-duyun. Menjelang makan sahur Ketua DPRD tampil membacakan hasil Keputusan Sidang Darurat. Isinya, larangan kepada Walikota Bukitinggi memberi izin mendirikan bangunan kepada Yayasan Baptis untuk mendirikan Rumah Sakit. Keputusan DPRD disambut pekikan takbir oleh ribuan massa dan sujud syukur kaum ibu. Sebagian basalah oleh air mata.

Awal Juli 1968, datanglah pak Natsir dari Jakarta. Beliau diundang oleh Gubernur Sumbar, ketika itu pak Harun Zain dan Walikota Padang Akhirun Yahya. Ketika itu pak Harun berpikir bagaimana mengembalikan dan membangkitkan harga diri orang Minang yang merasa 'kalah' pasca PRRI. Kedatangan pak Natsir juga membuat kami bercerita tentang kasus RS Baptis.

Sebelum balik ke Jakarta, pak Natsir menitipkan pesan khusus di atas kertas koran ukuran setengah folio. Belum ada kertas HVS seperti sekarang.

”Perlu mengubah cara engku-engku sekalian dalam menghadapi lawan yang semakin hari semakin kuat. Yaitu dengan membuat amal-amal yang bermafaat bagi umat. Umpanya, membuat Rumah Sakit Islam di Bukittingi. Pikirkanlah ini, dan nanti kita persamakan, " begitu pesan pentingnya.

Surat kecil itu saya serahkan ke Buya Datuk Palimokayo. Setelah pesan kecil itu menghasilkan satu keputusan umat Islam Bukutittinggi yakni sepakat membentuk sebuah badan yang diberi nama Lembaga Kesehatan Dakwah. Belakangan melahirkan keputusan dibangun Rumah Sakit Islam di Bukitinggi. Untuk yang ini, M. Natsir bahkan mengirim tenaga ahli dari Jakarta. Tidak hanya di Bukittinggi, surat M Natsir juga telah memprakarsai pembangunan RS Islam Yarsi di Padang, Padang Panjang, Payakumbuh, Panti dan di Kapar Pasaman.

Tapi, siapa pemimpin kita sekarang –hatta, pemimpin partai-partai Islam—yang hidupnya sederhana, bersahaja dan bisa dengan mudah kita temui? Siapa pula anggota dewan dan DPRD kita yang bisa diajak rapat sampai tengah malam? Lallahu a’lam?
Tan Kabasaran adalah Mantan Pengawal Pak Natsir di Hutan Sumatera Barat, Tokoh Masyumi Sumbar dan Senior Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia wilayah Sumatera Barat. Cerita ini sedang dalam proses pembukuan. RDH