Pages

Rabu, 16 Juni 2010

Catatan Terbengkalai

DESA SEBAGAI BASIS PENGUATAN MASYARAKAT LOKAL
“Di desa-desa sistem yang demokratis masih kuat dan hidup sehat sebagai bagian adat-istiadat yang hakiki, dasarnya adalah pemilikan tanah yang komunal yaitu setiap orang merasa bahwa ia harus bertindak berdasarkan persetujuan bersama, sewaktu menyelenggarakan kegiatan ekonomi”
(Hatta; 1950)

Gagasan tentang pembaharuan desa telah lama bertebaran. Banyak individu maupun lembaga telah lama mempromosikan berbagai konsep pembaharuan tata pemerintahan sebagai jalan untuk menciptakan keadilan sosial bagi rakyat desa. Fokus perhatian pembaharuan desa sekarang tidak hanya pada pembaharuan agraria, melainkan juga mengusung desentralisasi dan demokratisasi ke level desa. Desentralisasi merupakan kekuatan untuk “membela” desa dihadapan pemerintah supradesa, sedangkan demokratisasi adalah kekuatan alternatif untuk “melawan” desa terutama untuk memperkuat partisipasi masyarakat dalam urusan pemerintahan dan pembangunan desa.
Pada era Soeharto, rezim Orde Baru melakukan pengendalian politik secara total terhadap desa. Desa diintegrasikan ke dalam formasi “negara modern”. Segala keputusan dan peraturan negara mengikat seluruh warga desa di seluruh Indonesia. Apalagi di zaman Orde Baru, formasi negara modern yang hirarkhis semakin ketat dan sentralistik. Melalui berbagai perangkat peraturan, terutama UU No. 5/1974 dan UU No. 5/1979, desa dikendalikan oleh tangan-tangan birokrasi dari istana negara, kementerian dalam negeri, propinsi, kabupaten dan sampai kecamatan. Pemerintah pusat melakukan penyeragaman (regimentasi) terhadap seluruh unit pemerintahan terendah menjadi nama “desa”, sebagai upaya untuk memudahkan kontrol dan korporatisasi terhadap masyarakat desa. UU No. 5/1979 diperkenalkan yang membuat penyeragaman desa model Jawa ke seluruh penjuru tanah air. Bagi komunitas lokal di luar Jawa, UU No. 5/1979 merupakan bentuk penghancuran terhadap kearifan lokal, keragaman identitas lokal, maupun adat-istiadat lokal.
Struktur birokrasi sipil dan militer dirancang secara hirarkhis dan paralel dari Jakarta sampai ke pelosok desa. Hirarkhi birokrasi sipil mengalir dari Departemen Dalam Negeri, Propinsi, Kabupaten/Kotamadya, Kecamatan, dan Kelurahan/Desa. Departemen Dalam Negeri adalah pengendali hirarkhi birokrasi sipil, yang bertanggung jawab pada struktur di atasnya, yakni istana negara (Presiden). Paralel dengan hirarkhi birokrasi sipil adalah hirarkhi militer dari Dephankam/Mabes TNI, Kodam di Propinsi, Korem di wilayah pembantu gubernur, Kodim di Kabupaten/Kotamadya, Koramil di Kecamatan, dan Babinsa di Kelurahan/Desa. Korporatisasi dilakukan untuk membuat penyeragaman organisasi-organisasi lokal di desa (LMD, LKMD, PKK, Karang Taruna, Dasawisma, Kelompok Tani, dan lain-lain), yang memudahkan rezim untuk melakukan pengendalian. Sebuah kebijakan yang populer, dengan sebutan massa mengambang (floating mass), dipaksakan untuk memutus akses partai ke desa dan melarang warga desa untuk berpolitik. Tetapi pada saat yang sama, warga desa dibohongi, dimobilisir dan dipaksa untuk mendukung Golkar secara total. Barang siapa berani menentang pemerintah maka akan diganjar dengan stigma menakutkan: PKI/GEROMBOLAN DI/TII.

Sebagai miniatur negara Indonesia, desa menjadi arena politik paling dekat bagi relasi antara masyarakat dengan pemegang kekuasaan (perangkat desa). Di satu sisi, para perangkat desa menjadi bagian dari birokrasi negara yang mempunyai segudang tugas kenegaraan: menjalankan birokratisasi di level desa, melaksanakan program-program pembangunan, memberikan pelayanan administratif kepada masyarakat, serta melakukan kontrol dan mobilisasi warga desa. Tugas penting pemerintah desa adalah sebagai kepanjangan tangan birokasi pemerintah dengan memberi pelayanan administratif (surat-menyurat) kepada warga. Sudah lama birokratisasi surat menyurat itu mereka anggap sebagai pelayanan publik, meskipun hal itu yang membutuhkan adalah negara, bukan masyarakat. Semua unsur pemerintah desa selalu berjanji memberikan “pelayanan prima” 24 jam nonstop. Karena itu kepala desa senantiasa siap membawa tas kecil dan stempel untuk meneken surat yang dibutuhkan warga masyarakat. “Kalau ada warga mengetuk pintu rumah jam dua pagi tetap saya layani”, demikian tutur seorang kepala desa.

Pada sisi lain, terdapat pula titik lemah dalam budaya birokrasi desa yang ada; yakni berkait soal Akuntabilitas public. Hal ini dilatari secara empirik, mengingat akuntabilitas tidak terlalu penting bagi kades. Ketika kades sudah memainkan fungsi sosialnya dengan baik, maka kades cenderung mengabaikan akuntabilitas di hadapan masyarakat. Ia tidak perlu mempertanggungjawabkan program, kegiatan dan keuangannya, meski yang terakhir ini sering menjadi problem yang serius. Proses intervensi negara ke desa dan integrasi desa ke negara menjadikan kades lebih peka terhadap akuntabilitas administratif terhadap pemerintah supra desa ketimbang akuntabilitas politik pada basis konstituennya.

Lemahnya transparansi adalah problem lain yang melengkapi lemahnya akuntabilitas pemerintah desa, yang bisa dilihat dari sisi kebijakan, keuangan dan pelayanan administratif. Kebijakan desa umumnya dirumuskan dalam kotak hitam oleh elite desa tanpa melalui proses belajar dan partisipasi yang memadai. Masyarakat desa, yang menjadi obyek risiko kebijakan, biasanya kurang mengetahui informasi kebijakan dari proses awal. Pemerintah desa sudah mengaku berbuat secara transparan ketika melakukan sosialisasi (sebuah istilah yang sangat populer di mata birokrasi Indonesia) kebijakan (yang hampir final) kepada warga masyarakat. Tetapi sosialisasi adalah sebuah proses transparansi yang lemah, karena proses komunikasinya berlangsung satu arah dari pemerintah desa untuk memberi tahu (informasi) dan bahkan hanya untuk meminta persetujuan maupun justifikasi dari warga. Warga tidak punya ruang yang cukup untuk memberikan umpan balik dalam proses kebijakan desa.

Pengelolaan keuangan dan pelayanan juga sedikit-banyak bermasalah. Kecuali segelintir elite, warga masyarakat tidak memperoleh informasi secara transparan bagaimana keuangan dikelola, seberapa besar keuangan desa yang diperoleh dan dibelanjakan, atau bagaimana hasil lelang tanah kas desa dikelola, dan seterusnya. Masyarakat juga tidak memperoleh informasi secara transparan tentang prosedur dan biaya memperoleh pelayanan administratif. “Saya tidak tahu persis cara ngurus kelahiran dan berapa biayanya. Biayanya kok beda-beda. Warga desa sini biasanya tidak ngurus sendiri, tapi dititipkan dan diurus oleh pamong desa. Nanti kita menambah biaya administrasi dan transport”, demikian tutur seorang warga desa. Fenomena ini memperlihatkan praktik-praktik “pasar gelap” dalam penjualan pelayanan publik, meski warga desa sudah lama mahfum.

Paska Reformasi, dan telah terkonsolidasikannya tata nilai individualism dan materialism hingga ke tingkat akar rumput bahkan ke langgar-langgar, Potret Desa sebagamana diilustrasikan Hatta, mengalami involusi yang cukup serius. Basis nilai kearifan local yang awalnya menjadi sandaran warga tergantikan semangat egosentrisme dan vested interest disertai menjamurnya penalaran yang myopic. Hal ini dibuktikan dengan telah punahnya berbagai tradisi penting, semisal gotong royong dalam membangun fasilitas umum, rumah tetangga, maupun membersihkan lingkungan sekitar. Fenomena myopisme, juga mengemuka tatkala momentum Pemilu maupun Pilkades dalam wujud money politic, atau pula ketika diketahui ada rencana pembangunan tertentu. (Dedy Suryadi)

Tidak ada komentar: