Pages

Rabu, 16 Juni 2010

MERAMBAH JALAN BARU PENYEMPURNAAN SISTEM KADERISASI PII




Gelombang wacana penyempurnaan sistem kaderisasi PII (baca: ta’dib) yang memuncak pada pertemuan samnas di Cempaka Putih, Jakarta pada pertengahan bulan Maret 2007 berjalan terseok-seok. Wacana yang menguat waktu itu adalah menempatkan sistem kaderisasi PII dalam kondisi transisi. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada semua kader PII, khususnya instruktur ikut berkontribusi pada penyempurnaan sistem kaderisasi dan memungkinkan munculnya ide-ide cerdas tentang tawaran konsep sistem kaderisasi PII yang lebih efektif dan relevan mendepan.


Selain merumuskan transisi sistem kaderisasi PII, juga munculnya gagasan keterbukaan sistem kaderisasi PII (open system). Hal ini dilatarbelakangi sangat cepatnya perkembangan sistem pengkaderan dan pelatihan di luar PII. Gagasan agar kaderisasi PII tidak lagi eksklusif dan mau menerima dan mengadopsi sistem gagasan dari luar, menjadi satu tema yang sangat menarik untuk menjadi bahan kajian kita bersama.

Inklusifitas sistem kaderisasi PII akan jauh menyentuh wilayah dasar sistem kaderisasi jika dikorelasikan dengan perkembangan wacana pendidikan saat ini, khususnya wacana pendidikan multicultural. Gagasan tentang pendidikan multicultural telah meluas meluas menjadi gerakan dan mewujud dalam berbagai lembaga sekolah, kursus, dan komunitas-komunitas kajian di berbagai tempat di Indonesia. Semangat multicultural adalah apresiasi positif terhadap keberagaman budaya dan komunitas yang ada di masyarakat. Dan pada akhirnya kader-kader PII dapat mampu berperan optimal di masyarakat dimana dia tinggal.

Gagasan ini dilatarbelakangi oleh kenyataan historis dan sosiologis bahwa masyarakat Indonesia sangat beragam. Hampir disemua komunitas memiliki keanekaragaman yang sendiri-sendiri, otonom dan independent dengan komunitas lain. Sehingga dalam satu bingkai training harusnya mampu mengakomodasi kompleksitas pelajar yang ada. Inilah saya kira yang perlu menjadi perhatian kita bersama dalam training. Biasanya training PII terpaku dengan target, terkesan mengasumsikan bahwa input boleh bermacam-macam dan beragam latar belakang kebudayaan dan keunikan diri; namun output haruslah sama dan satu visi.

Jika kita kaitkan wacana diatas dengan konteks HAM yang ada saat ini, kita akan terjebak dalam satu perspektif “kekerasan” karena kurang mengapresiasi keunikan dan keberagaman peserta. Persoalan yang lain sebagai implikasi dari akibat benturan berbagai dinamika pemikiran yang muncul saat training adalah adanya ketegangan-ketegangan dan konflik. Hal ini seharusnya bisa diselesaikan dalam training PII, namun kenyataannya dalam setiap forum nasional selalu saja muncul ketegangan ini.

Ditingkat internal, problem kemandekan pemikiran sistem kaderisasi PII khususnya disebabkan tidak adanya keberlanjutan wacana ini dengan aksi dilapangan. Satu hal yang menurut saya sangat mendasari konsep kaderisasi PII adalah wacana tentang kebangkitan Islam abad ke 21. saya kira agar kita tidak terlambat merespon perkembangan wacana keilmuan dan perkembangan masyarakat, gagasan kebangkitan Islam abad 21 perlu di dengungkan terus menerus dalam setiap aktivitas PII. Misalkan dengan kembali PII merumuskan gagasan “kesatuan imamah” yang menjadi salah satu doktrin di ikrar Jakarta. apakah akan sama mengusung gagasan HTI dengan menyuarakan gagasan “khilafah islamiyah” atau mengusung wacana pemberlakuan “syariat Islam” atau mengikuti wacana salafy dengan “kembali kepada al-qur’an dan as-sunnah” atau mengikuti perkembangan banyak organisasi sekarang (semisal NU, Muhammadiyah dan Persis) dengan gagasan “membumikan Islam” dengan cara ikut berpartisipasi sepenuhnya dalam penyelesaian problem dan ikut merumuskan masa depan umat manusia.

Kedua adalah merumuskan konsepsi Islam yang mendasari PII, hal ini penting sebagai rujukan doktrin bagi kader PII. Semisal ikhwanul muslimin (IM) dengan merumuskan Islam sebagai dakwah dan politik. NU menyandarkan diri pada rumusan Islam sebagai aqidah, syariah dan tasawuf. Dalam satu diskusi informal PII di Mangkuyudan 34 sempat melontarkan bahwa konsepsi Islam yang menjadi doktrin PII adalah Islam di pandang sebagai “doktrin dan gerakan”. Namun penjabaran hal tersebut saya kira perlu diskusi dan kajian lebih lanjut.

Setelah merumuskan kedua hal tersebut, kemudian mencoba menjawab berbagai tantangan yang ada saat ini; semisal PII berbicara tentang neo-modernisasi Islam, PII dan globalisasi menurut perspektif Islam, universalisasi doktrin Islam dalam konteks lokal, dan lain-lain. Gagasan inilah saya kira akan memberikan perspektif baru tentang sistem kaderisasi PII mendepan, karena tantangan kita adalah bukan lagi state, tetapi gelombang globalisasi kebudayaan.

Tidak ada komentar: