Pages

Rabu, 16 Juni 2010

MENGGAPAI MATAHARI sang Aktivis

Di sebuah ruangan sederhana. Begitu sepi dan sunyi. Tak ada kawan yang datang. Begitu juga kawan yang ditunggu ternyata tak jadi datang dengan alasan hujan dan genting rumah yang bocor. Jadi harus memilih: memperbaiki rumah daripada membicarakan masa depan organisasi. Pertemuan pun dibatalkan.

Menjelang subuh. Ahonk tak juga bisa tidur. Pikirannya entah lari kemana. Terkadang ke mas kanak-kanak. Lalu meloncat jauh ke masa sekolah menengah pertama dan masa remajanya akhir ketika menggunakan seragam putih abu-abu. Ia seperti bercerita pada diri sendiri dan itu tidak soal. Di sekolahnya yang ketat dengan aturan hidup yang didisiplinkan dengan bel yang selalu berdering biasa melakukan refleksi terlebih bila hendak melakukan kerja-kerja besar: misalnya facebook. Daripada tak bisa tidur, Ahonk pun bangun menyalakan computer dan mulai mencari berbagai sumber ilmu:

Sebelum memasuki bangku kuliah, aku sudah sering mendengar aksi-aksi demonstrasi mahasiswa. Di sekolah menengah, aku dan teman-teman sering menyebut-nyebut demonstrasi yang dilakukan mahasiswa. Bunderan Tugu Adipura Kota sukabumi adalah tempat favorit demonstrasi mahasiswa yang sering kudengar. Selain aksi-aksi demonstrasi yang mengangkat poster-poster tuntutan, kami juga memperbincangkan sepak terjang siswa seperti pementasan-pementasan keseniannya yang tak biasa. Happening art, begitulah orang-orang menyebutnya. Tak lupa kami pun menyimak statement-statement aksi mahasiswa di koran-koran, radio dan televisi serta artikel-artikel tentang gerakan mahasiswa yang sesekali muncul di koran. serta nyanyian kritik sosial para pengamen jalanan di Lampu merah depangedung juang '45,Singkatnya, berita-berita aksi solidaritas mahasiswa terhadap rakyat tertindas, terpinggirkan dan miskin menggairahkan hidup kami, setidaknya diriku yang tinggal di kontrakan yang tak tergugat untuk memenuhi panggilan Ilahi. Bukankah membela rakyat kecil, tertindas, tergusur adalah perbuatan nabi sepanjang hidupnya sampai wafat? Mahasiswa-mahasiswi yang berdemonstrasi bersama rakyat itu telah memanggul berbagai spanduk. Merekalah idola kami. Sepertinya kami juga tak peduli alias takut bila idola kami ini dipenjarakan dengan tuduhan yang tak main-main: makar dan komunis ketika kasus pembangunan korupsi para penyelenggara negara sampai ditelinga kami, mengisi berita-berita televisi dan koran-koran.

Sejauh yang kutahu: mahasiswa-mahasiswi itu bergerak karena ganti rugi untuk memperjuangkan nasib rakyat melalui parlemen jalanan yang sangat merugikan rakyat. Padahal uang yang dikorupsi tersebut dan pejabat dibiayai oleh Pajak Rakyat, Bank Centiry, Pembangunan pagar DPRD Kota, setumpuk korupsi di kabupaten yang tak terungkap. Mahasiswa yang tergerak hatinya atas kesewenang-wenangan penguasa terhadap rakyat kecil itu pun membentuk Kelompok Forum Aktivis Sukabumi untuk Rakyat(FRAKSI-RAKYAT) sebagai alat perjuangan dan menyatukan berbagai solidaritas yang berasal dari berbagai kalangan.mahasiswa dan mahasiswi berdatangan untuk menyampaikan pembelaan dan solidaritas. Setidaknya kelompok ini melakukan aksi solidaritas ke berbagai instansi Daerah. Sungguh tahun-tahun yang bergerak dan akan terus bergerak sesudah tahun-tahun
Mahasiswa-mahasiswi itu tampak juga tak ragu bahwa dengan membela para Rakyat yang malang itu, cap komunis bisa langsung dilekatkan pada mereka yang berarti juga lonceng kematian pada karir gemilang mereka sebagai mahasiswa. Huh..bukankah kedaulatan itu berada ditangan rakyat?
Salah satu dari mereka adalah mahasiswi dengan wajah yang memberanikan. Entah siapa namanya. Wajahnya yang sempat sekilas muncul di berita Televisi tak mudah kulupakan. Seakan ia berkata padaku: tak akan mundur sampai titik darah penghabisan. Sementara itu terdengar pula gemuruh suara lantang: "Hidup Rakyat! Hidup Mahasiswa! Rakyat Bersatu Tak bisa dikalahkan, Revolusi...Revolusi sampai Mati!"

Lalu, seorang aktivis gaek. Namanya sebelumya sebelumnya pernah kami kenal ternyata senior kami angkatan 98 (Dedy Cimenk). Dalam deretan angkatan. YF, Ekek, dan Lainnya Ase, Atenk, dikenalkan kepada kami sebagai pelopor gerakan di Sukabumi.
Pramoedya Ananta Toer? Kami tak kenal. Di sekolah Menengah Pertama, namanya memang disebut dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Tapi tak pernah diajarkan atau diperkenalkan karya-karyanya walau beberapa judul cukup disebutkan. Namanya cukup dideretkan dalam bagian Pengarang Angkatan 1945 dengan riwayat singkat satu alinea saja. Dia dilahirkan di Blora yang dalam pengertianku sampai Sekolah Menengah Atas tempat berkembangnya Kebudayaan Samin: orang-orang desa yang lugu yang dengan caranya sendiri melawan kolonialisme Belanda.
Aku menemukannya nama itu dari TM (mantan ketua BK HIMASI). Walau nama Pramoedya Ananta Toer juga diperkenalkan kepada kami sebagai salah satu Sastrawan Angkatan 45, tak satupun dari Karya Novel ataupun cerpennya yang dibacakan di kelas. Tapi kini, novelnya Bumi Manusia menjadi perbincangan keras dan perdebatan keras. Novel yang terbit tahun 1980 itu dilarang Kejaksaan Agung setahun kemudian. Walau begitu novel Pram berikutnya tetap terbit dan terus dilarang: Anak Semua Bangsa (1981), Jejak Langkah (1985) dan Rumah Kaca (1988). Beberapa mahasiswa yang membaca dan mendiskusikannya, ditangkap dan dipenjarakan. Aksi-aksi solidaritas menuntut pembebasan merekapun merebak di beberapa kota sambil menyerukan Demokrasi dan Kebebasan Berekspresi. Di Yogyakarta, aksi solidaritas dibubarkan dengan paksa dan kekerasan. Peserta demonstrasi dihajar tanpa ampun. Aku dengar: ada yang patah kaki dan hidung.

Di Djakarta, cerpen Pram yang ditulis pada 17 Desember 1955 itu bercerita tentang Jakarta yang tak tertata sebagai kota besar dengan begitu semakin tak berbudaya dan manusiawi. Manusia pun telah dipaksa merendahkan diri menjadi kuda-kuda tunggangan dengan menggenjot becak-becak.
Kami pun ingat kata kuno yang seharusnya sudah tak bermakna di masa kini: Katakombe. Penindasan Kekuasaan Roma terhadap datangnya agama baru yang membela budak bahkan menyerukan egalite telah melahirkan para martir Mujahid yang berani. Bagaimana mereka bisa tahan menerima rupa-rupa siksa? Sungguh demi hidup di surga sesudah mati
Ahonk berhenti sejenak. Ia belum berhenti. Suara keybod agak tak terdengar, lancar dan jernih karena ia setidaknya pernah belajar mengetik 10 jari.
Masa-masa perploncoan sudah dilewati. Mulailah kini menjalani hidup sebagai mahasiswa yang selalu menjadi impian ketika masih di sekolah menengah: tak harus berseragam, boleh gondrong, bisa pulang malam, bersandal jepit dan sebagainya. Bebaslah menentukan diri sendiri, termasuk ikut ramai-ramai mengkritik pemerintah yang tak becus tanpa takut diskors dan dipecat Kepala Sekolah yang konservatif, anti demokrasi dan anti diskusi.

Pada aksi membela Rakyat menggugat pemerintah karena telah menyesengsarakan kami, aku pun bertemu dengan dia, mahasiswi sekampus dengan wajah yang memberanikan itu. sebelumnya dia atasku disalahsato organisasi ekstra kampus tak membuat aku minder.

"Hai!" kataku.

"Hai!" balasnya.

"Ahonk. Panggil saja aku Ahonk. Ok?"

"Ok!
"Nama kamu?" kata ku.

"Ima (bukan nama sebenarnya!" serunya di antara gemuruh massa yang rally menuju kantor KPUD. Aku tak menyebut Juang.

"Darimana?"

"Sukabumi"
Lalu, kami menjadi akrab. Kami bercakap apa saja bahkan pada diskusi-diskusi yang kami suka. Mengagumkan dan Menyenangkan. Aku sendiri tak pernah berpikir untuk berteman denganya.

"Yang kaya akan diusirnya dengan tangan hampa dan yang berkuasa dan congkak akan diturunkan dari takhtanya!", seru kami hampir berteriak,"Kamu ingat aksi di depan kantor KPUD itu?"

"Ya"
"Selalu?"

"Selalu. Tak kan pernah lupa. Itulah keberanianku yang pertama".

"Ya. Sebaiknya selalu kau ingat bila kamu rindu padaku. Aku akan pergi".

"Kemana? Tak boleh tahu aku?".

"Boleh. Bila kamu terus mengikuti jalan ini, pastilah kita akan bertemu." Ia tertawa ngakak.

"Ok. Tapi siapa namamu? Semua orang di sini dipanggil Ahonk. Laki dan perempuan."

Ia tertawa lagi seperti menertawakan ketololanku: "Ya. Kau mulai pintar sekarang. Gimana, Honk? Apa agendamu sekarang?" terus ia tertawa dan mulai memanggil aku, Ahonk juga.

Sejak itu kami sering bertemu. "Ahonk, kata orang seorang pejuang berhak mendapatkan Mawar Merah yang berani seperti ini. Tapi, hati-hati mengambilnya. Duri-durinya bisa membawa kamu pada kematian yang berdarah-darah. kata teman se kampus ku

Pada saat diskusi di Istana Rakyat. Kata teman aktivis FRAKSI RAKYAT, nenek moyangmu menyukai Melati. Melati adalah keberanian. Begitulah orang-orang Jawa menghiasi keris kejantanan mereka dengan roncean Melati ketika datang ke pesta-pesta. Orang bilang itu adalah lambang keberanian Arya Penangsang menentang Pajang yang makin bergerak ke udik pedalaman. Roncean Melati perlambang usus Arya Penangsang yang terburai akibat tombak Kyai Plered lalu disangkutkan ke keris. Tentu kamu tak akan berbuat setolol itu kan?" In Solidarity.

28 Maret 2010 (100 hari SBY), corat-coret "Gulingkan SBY, Ganti Rezim, Ganti sistem" ada di mana-mana? di tembok-tembok, gedung-gedung Mulailah pengerahan dan penangkapan terhadap para aktivis. Akan tetapi rakyat yang muak terhadap rejim Orde Baru Jilid II, mulai menolak SBY, Boediono dan Sri Mulyani. Memasuki tahun baru 1998, bom meledak di Jakarta seakan berteriak: tak lama lagi pemerintahan otoriter tumbang. Rejim makin kalap dan panic. Penculikan-penculikan terhadap aktivis mulai dilakukan. Perlawanan tak berhenti. Mei 1998, Jendral Besar itupun mundur diiringi dengan caci-maki dan hujatan...sampai ke liang kubur. Tapi kasus korupsi yang dituduhkan kepadanya tak sanggup menyeretnya ke penjara, kasus kejahatan kemanusiaan yang dituduhkan kepadanya juga tak sanggup menyeretnya ke penjara. Tak ada pengadilan rakyat baginya. Justru gerakan mulai terfragmentasi, makin surut, makin kecil..terpecah-pecah seakan mencari alur revolusinya sendiri-sendiri dalam situasi yang baru, yang lebih bebas dan terbuka di antara badai neoliberalisme yang mengancam. Persatuan!Persatuan! tentu adalah jalan keselamatan. Barangkali isu korupsi yang kini merebak dan menjadikan rakyat muak terhadap tindak korupsi dapat menjadi jalan menuju persatuan nasional menghadapi penjajahan asing yang membuat kita jadi bangsa kuli di negeri sendiri. Bagaimana pun korupsi adalah sisa-sisa feodalisme yang layak dihancurkan. Kita tak lagi hidup di jaman feodal ketika para pejabat kerajaan harus menerima upeti dari para kawulanya yang dianggap hanya sekadar menumpang hidup di tanah-tanah milik raja. Hmm..tanah-tanah milik raja? Sehingga rakyat kecil, orang-orang desa yang lugu tapi pekerja keras selamanya tak berhak untuk menerima karunia dari tanah hasil olahan tangannya sendiri bahkan?

Ingat aksi di depan kantor DPRD, Walikota, KEJARI, Pendopo dan KPU Kab Sukabumi tidak luput dari gelombang Demonstaran. Aksi itu tak berjalan mulus. Barisan kami "dihancurkan" dengan bentrokan . Walau begitu kami sanggup menata barisan kembali dan mundur perlahan dengan lagu-lagu perjuangan
Kami terus mberanikan diri untuk melangkah Revolusi dan melawan barisan polisi tampak tak lagi mengejar.
Ahonk tak sanggup melanjutkan. Pertanyaan-pertanyaan bermunculan di otaknya. Di mana kira-kira Ima berada? Mengapa begitu lama Ima tak muncul? Ima seperti hilang ditelan bumi. Betapa rasa rindu menghantarkan bayangan-bayangan wajahnya. Ahonk tak bisa melupakan tapi juga tak tahu di mana mesti mencari. Tak ada kabar yang lewat. Berserah pada waktu barangkali cukup mengusir rasa rindu.

Ia mulai menyalakan rokok. Menghisap kuat lantas menghembuskan asapnya dengan tenang. Malam hampir pagi. Beberapa bintang masih tampak. Juang menikmati bintang-bintang dari balkon. Ia pun ingat Pythagoras tua yang dari atas balkonnya mengamati letak bintang-bintang. Dari sana juga barangkali ia meletakkan filsafat hidupnya..karena melihat bagaimana alam bergerak begitu kosmos, teratur taat pada hukum-hukumnya yang harmonik. Getarannya yang lembut menimbulkan nada-nada musik yang hampir sepenuhnya matematis. Tak heran bila kemudian Pythagoras dikenal juga sebagai salah satu peletak dasar numerology. Tapi Pythagoras, tak main-main dengan mistik yang ajaib. Sepenuhnya ia mendasarkan ramalan kehidupan dari angka-angka yang sekaligus juga merupakan suatu system tata surya. Saking terpesonanya pada matematika, ia percaya bahwa di balik angka-angka matematis terdapat juga makna misteri yang tersembunyi yang dapat mengatur langkah dan irama kehidupan manusia hingga ia berkesimpulan bahwa hakikat segala sesuatu adalah angka-angka.

Lagi, Pythagoras merupakan salah satu filsuf terkemuka dari jaman kuno Yunani. Ia hidup sekitar abad ke-6 sebelum masehi. Pythagoras yang cerdas memang memberikan banyak sumbangan penting bagi umat manusia, terutama dalam hal musik dan matematika, bahkan theologi. Bila orang mulai percaya terhadap angka-angka nasib yang ditawarkan di televisi melalui SMS atau di tempat-tempat lain, baiklah orang tersebut juga mulai mempelajari Pythagoras sehingga menemukan kekayaan filsafat Pythagoras beserta kekeliruan dan kekonyolannya. Pythagoras juga menasehati agar orang tetap bisa menjaga ingatannya dengan baik seharusnya rajin membaca puisi sebelum dan sesudah tidur. Juang pun percaya karena di dalam puisi terdapat irama matematis sebagaimana lagu-lagu Jawa juga mengenal guru wilangan atau guru bilangan.

Kami berlari

dari kejaran dan perburuan

Wajah-wajah seram seperti hadir

di kepala kami

"Hantu?"

" Oh, bukan. Bukan. Itu hanyalah bayangan aparat keamanan yang seram"

Daun-daun gemerisik membisikkan pesan Rakyat

Dongengan nenek moyang dan danyang-danyang desa

Bulan kusut masai di antara tarian awan-awan hitam

Petaka rakyat



Tiada juang tanpa rintangan

Tiada menang tanpa tantangan

Tiada kumbang tanpa penyengat

Tiada bunga tanpa kelopak

Tiada senang tanpa keringat

Tiada jaya tanpa bekerja

Dalam musibah pasti ‘kan ada hikmah

Habis gelap pasti ‘kan terbit terang

Sabar, tawakkal, serta berjuang

Tanpa menyerah dan putus asa

Di dalam menggapai matahari

Menggapai segala cita-cita

Doaku, Sayang, selalu menyertaimu

Semoga Tuhan berkenan mengabulkan

Agar diberikan kemudahan

Kemudahan serta kelapangan

Di dalam menggapai matahari

Menggapai segala cita-cita...

Ahonk turun dari Motornya. Menyusuri jalan sebentar lalu menancap lagi gas motornya menuju Menuju Istana Rakyat. Rasa kantuk mulai menyerang. Juang di atas keramik di ruang depan. Dalam nyenyaknya, Juang bermimpi: meloncat dari Pancoran menggapai matahari sebagaimana Anoman kecil menggegerkan dunia para dewa.
Salam OPOSISI RAKYAT
jangan mencari Tuhan kemana-mana
Sesungguhnya Tuhan Bersaman orang-orang Tertindas

Tidak ada komentar: