Pages

Sabtu, 26 Juni 2010

Distorsi Realitas dalam Kebijakan anti Subsidi



Dari hari ke hari, Distorsi kian menjadi. Distorsi atas realitas hakiki. Penafian atas kesejatian yang tak terbantahkan. Alam tak lagi ditafsirkan oleh kedirian manusiawi. Semata dikategori sebagai benda mati tak berarti. Diidentifikasi dan dieksplorasi tanpa henti. Tak tersirat mereka dilirik sebagai makhluk penghidup penuh belas kasih. Kekerasan hati mematahkan visi atas keagungan sang mentari yang memberi energi. Kedangkalan pikiran mengabaikan atas kemurahan udara, air, tanah, api dan segenap isi perut bumi atas umat manusia. Betapa Tuhan yang menjadi sentrum atas kemurahan itu, memberi dan memelihara kita tanpa pilih kasih. Begitu luas kebaikannya, tanpa kenal istilah klasifikasi dan efisiensi. Karena enegi adalah Hak Mutlak Tuhan demi segenap Ummat Manusia. Semuanya mendapatkan Subsidi Energi berkeadilan demi melanjutkan kehidupan.

Pikiran-pikiran sesat dan menyesatkan demikian dominan. Jadilah energy dimiliki oleh para tiran. Kedaulatan Tuhan tak diperhitungkan. Kebutuhan universalitas rakyat pun diobjektivikasikan sebagai pasar demi mengeruk keuntungan. Energi adalah komoditas ekonomi yang dikelola menurut mitos efisiensi dan profitabilitas. Padahal semuanya hanya mantra tak bermakna. Semata slogan pembias motif keserakahan. Hanya topeng penutup keangkuhan. Hanya alasan atas myopic-nya intelektualisme yang berselingkuh dengan kekuasaan. Intelektualisme yang mengabaikan interpretasi spiritual. Intelektualisme yang mendistorsi realitas hakiki.

Maka Subsidi pun diharamkan seraya mengibarkan Panji Keadilan semu. Tanpa mengindahkan beban hidup rakyatnya yang kian berat. Tanpa memperhitungkan pendekatan produktivitasnya secara keseluruhan. Kaya maupun miskin, mukmin maupun pun kafir, ahli sajadah maupun haram jadah berhak atas energy, sebagai anugerah ilahi—kalau perlu secara gratis. Sebagaimana kita semua menikamati matahari dan udara. Energi bukanlah milik exxon, pertamina, shell, dan siapapun juga. Semua milik Tuhan bagi kemanfaatan ummat manusia. Dan hak guna pakainya adalah milik rakyat yang menempatinya. Milik rakyat Indonesia, dan kita semua berhak menikmatinya secara berkeadilan.

Sungguh aneh, perhitungan besaran subsidi bukan dihitung atas biaya produksi dalam eksplorasinya melainkan berdasarkan kesejajaranya dengan harga internasional. Lebih aneh pula, karena subsidi energy yang sesungguhnya dapat mendorong produktivitas nasional secara keseluruhan malah dipersalahkan. Tidakkah ketika industry menikmati harga energy yang murah, akan dapat meningkatkan daya kompetitif produknya sekaligus meningkatkan upah buruhnya? Lantas Negara pun dapat menikmati pajak yang atas keuntungan perusahaanya. Tidakkah ketika energy murah, mobilitas ekonomi rakyat akan tergerakan? Harga-harga menjadi terjangkau dan daya beli masyarakat pun meningkat.

Entahlah mungkin Aku terlalu bodoh, untuk memahami semuanya. Kepada rakyat Indonesia selamat menikmati kemiskinan dan penjajahan gaya baru yang niscaya meluluhkan Martabat, Harga diri, dan Purwadaksi Bangsa ini. Kepada Kaum Tiran yang berselingkuh dengan korporasi asing, selamat menikmati ejakulasi. Jikalah sudah titi mangsanya, maka semua akan hancur menjadi debu, dan kalian akan merasakan pembalasan alam yang lebih pedih. Pembalasan atas pengkhianatan terhadap Tuhan, Alam dan rakyat semesta.(Dedi Suryadi)

Minggu, 20 Juni 2010

Politik dan Ideologi



Hampir setiap jam, dalam ruang-ruang publik yang telah dikuasai media massa, iklan-iklan politik datang bergantian dengan iklam produk komersil. Hebatnya, iklan-iklan ini diyakini akan menyulap dukungan, ibarat iklan produk meraih kepercayaan seorang konsumen. Iklan politik semakin menggila takkala berbagai lembaga survey dan pemeringkat menyambut fenomena ini, dengan menciptakan grafik yang menggambarkan korelasi antara iklan politik, popularitas, dan peningkatan basis dukungan. Tak heran, dana yang digelontorkan partai ke iklan politik jauh lebih tinggi, misalnya, dibandingkan dengan dana operasional untuk membuat terbitan, booklet, ataupun material-material literer lainnya.


Demokrasi Liberal dan Pemasaran Politik

Dalam beberapa tahun terakhir, kosakata “liberal” makin akrab di telinga kita. Diskursus dan debat-debat mengenai sistim demokrasi menganut istilah “demokrasi liberal” untuk menjelaskan satu kutub dalam sistim demokrasi. Demokrasi liberal, meminjam pengertian Andrés Pérez Baltodano, merupakan sebuah kerangka atau mekanisme yang memastikan kekuasaan negara berjalan untuk menfasilitasi kepentingan segelintir elit (korporasi dan oligarki) dan menjaga agar standar, prinsip dan nilai-nilai kapitalisme-neoliberal bekerja sebagai sesuatu yang normal.

selain itu, di bawah neoliberalisme, sistim demokrasi juga mengakomodir pemilik korporasi, pejabat partai, dan korporasi untuk bertransaksi layaknya di pasar untuk memperdagangkan produk mereka, dimana rakyat diubah menjadi konsumen pasif yang harus tunduk pada hukum pasar. Sejak tahun 1980-an, seiring dengan ekspansi neoliberal, dikenal istilah “pemasaran politik”, yakni kegiatan promosi guna menjual produk politik (political product). Dalam pemasaran politik , ada tiga hal yang dijual (baca; produk politik) yakni partai, kandidat, dan kebijakan (janji-janji politik). Pemasaran produk politik berjalan integral dengan aktifitas akumulasi profit; seorang kandidat akan menyerahkan sejumlah besar dana untuk pemasaran politik melalui saluran iklan politik (TV, radio, Koran, website, ponsel, dll), ataupun pembuatan/ mencetak poster, kartu nama, spanduk, baliho, dan sebagainya.

Di Indonesia, perkembangan pesat televisi swasta nasional telah menjangkau 80% penduduk, dan potensi viewers-nya berkisar 118 juta orang penduduk (Jurnal Sosial Demokrasi, edisi juli-september 2008). Tentu ini pasar yang menggiurkan bagi penjual produk politik. Tidak heran, seperti yang disebutkan dalam survey AC Nielsen, bahwa ada korelasi antara peningkatan belanja iklan dan peningkatan popularitas dan mengalirnya dukungan terhadap partai. Gerindra mengeluarkan dana iklan di bawah Rp 1 miliar. Namun, sejak Juli hingga Oktober, biaya iklan Gerindra per bulan mencapai Rp 8 miliar; Pada Juni dukungan terhadap Gerindra yang terekam survei LSI hanya pada tingkatan 1,0 persen. Namun, dukungan terhadap Gerindra meningkat menjadi 3,0 persen dan 4,0 persen pada September dan November.

Begitu juga dengan Partai Demokrat (PD). Dari Mei hingga Juli 2008, pengeluaran iklan PD di bawah Rp 1 miliar per bulan. Namun, mulai Agustus hingga Oktober, pengeluaran iklan secara konsisten meningkat dari Rp 8,29 miliar (Agustus); Rp 10,08 miliar (September); dan Rp 15,15 miliar (Oktober).

Dengan belaja politik yang tinggi, mustahil seorang tukang becak dapat menjadi presiden. Kompetisi yang berbasiskan modal (capital), tentu tidak akan memberikan kesempatan kepada kelompok-kelompok sosial, terutama dari kalangan menengah ke bawah, untuk terlibat kontestasi politik. Padahal, secara teoritik politik merupakan arena bagi semua kelompok atau sektor sosial untuk memperjuangkan kepentingannya.

Kontestasi Ideologi

Di sisi lain, perkembangan demokrasi liberal dengan metode pemasaran politiknya tentu saja akan semakin memperkecil arena kontestasi ideologi, yang pada akhirnya akan menghilangkannya. Kontestasi ideologi tercermin pada debat soal program, visi, cita-cita perjuangan. Hal ini akan mendorong kristalisasi ide-ide kelompok masyarakat tentang cita-cita kolektif, yang tentu saja harus diperjuangkan dalam arena politik dan arena manapun; ekonomi dan budaya.

Di Indonesia, proyek depolitisasi era orde baru benar-benar menghapus partisipasi rakyat dalam politik, dan pada saat bersamaan menciptakan penyeragaman ideologi pada level politik.

Paska reformasi, yang ditandai dengan opensif neoliberal yang makin menggila, proses depolitisasi dijalankan pada tingkat institusionalisasi sistim demokrasi yang hanya membuka pintu bagi pemegang capital (modal), dan menutup pintu bagi partisipasi politik rakyat.

Dalam demokrasi liberal, tentu dengan metode pemasaran politiknya, sebuah partai atau politisi berusaha keras memunculkan “brand image” di mata konstituen, persis seperti pola korporasi menciptakan brand produk kepada konsumennya. Soal isi (program, visi, dan cita-cita) tidak menjadi penting, yang paling penting adalah bagaimana iklan ini menyentuh hati dan tersimpan dalam memori rakyat, setidaknya hingga pemilu.

Transformasi ini juga mengakhiri era ideologisasi di dalam partai; bentuk-bentuk pendidikan dan kursus kader mulai ditinggalkan. Partai disibukkan dengan kerja-kerja praktis untuk memenangkan pemasaran kandidat, dan lupa untuk memperkuat infrastruktur partai.

Rakyat Miskin (Dilarang) Pintar.

Setelah di bom atom---yang menimbulkan kerusakan dan kehancuran berat---Jepang mencoba untuk membangun kembali negaranya, salah satu variabel yang menjadi modal utama dan optimisme mereka adalah pendidikan. Jepang kemudian mengirim pemuda dan pemudinya belajar keluar negeri untuk mempelajari tekhnologi modern dengan biaya pemerintah, didalam negeri pemerintah Jepang mengutamakan pembangunan fasilitas Pendidikan dan memberi porsi anggaran yang besar untuk sektor pendidikan. Itulah kenapa Jepang bisa bangkit dan mengejar ketertinggalannya dari bangsa-bangsa negara maju. Sangat beda halnya dengan kenyataan yang di lakukan oleh pemerintah Indonesia, alih-alih untuk memajukan sektor pendidikannya malah pendidikan komersialisasikan dan dibiarkan dikuasai oleh Nafsu mengakumulasi modal(Baca; Kapitalisme).

Di bawah Pemerintahan SBY-Boedi nasib dunia pendidikan Indonesia sungguh sangat dramatis, pendidikan nasional sebagai salah satu variabel untuk memajukan pendidikan justru di jadikan lahan akumulasi modal(pendidikan Layaknya komoditi yang siap di perdagangkan). Problem utama pendidikan saat ini bisa di simpulkan menjadi (1) Biaya Pendidikan yang semakin Mahal; janji realisasi anggaran pendidikan minimal 20% (menurut Konstitusi) tidak juga di berikan. Dalam kesepakatan pemerintah dan DPR untuk 2007 dana yang dianggarkan untuk sektor pendidikan hanya Rp.51.3 Trilyun atau 10,3% dari total APBN, hanya Naik sedikit dari tahun 2006 sebesar Rp. 36,7 Trilyun atau 9,1 % dari APBN. Sedangkan alokasi anggaran pendidikan dari tahun 2006 sampai 2009 adalah sebesar 210 trilyun sebuah angka yang sedikiti bila di banding dengan komitmen pembayaran utang luar negeri. Alokasi pembayaran hutang yang terdiri dari bunga hutang dalam negeri sebesar Rp. 38,84 trilyun, bunga hutang luar negeri Rp. 25,14 trilyun dan cicilan pokok hutang luar negeri Rp. 46,84 trilyun, hal tersebut artinya pembayaran utang luar negeri telah menggerogoti 25,10% dari total belanja negara yang berjumlah Rp. 441,61 trilyun, serta menguras pendapatan negara sebesar 29,33%. Dan jika dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Malaysia, anggarannya jauh di atas Indonesia. Di Malaysia, anggaran untuk mahasiswa mencapai 114 juta rupiah per mahasiswa per tahun. Dan ini belum termasuk soal pengembangan sumber daya manusia yang juga membutuhkan biaya besar.

Menurut data Balitbang Depdiknas tahun 2003, murid SD dan madrasah ibtidaiyah (MI)-negeri dan swasta-berjumlah 25.918.898 orang dan murid SMP dan madrasah tsanawiyah (MTs)-negeri dan swasta-berjumlah 7.864.002 orang. Jadi, jumlahnya adalah 33.782.900 orang. Dari jumlah itu akhirnya yang putus sekolah dan berhenti tamat SD ada 56,2 persen dan yang hanya tamat SMP 16,65 persen. Jadi, putus sekolah dalam wajib belajar 62,67 persen. Penyebab Utama mereka untuk putus sekolah karena faktor ekonomi orang tuanya(baca; Miskin), Meskipun Pemerintah memberikan beasiswa, memilih 9,6 juta dari 33,78 juta orang bukan pekerjaan gampang, apalagi yang miskin jumlahnya 21,16 juta. Memberikan beasiswa hanya kepada sebagian kecil orang miskin sia-sia saja. Lebih baik adalah sekolah gratis kepada seluruh siswa wajib belajar (SD-SMP-SMA). Data sensus tahun 2003 menampilkan gambaran bahwa penduduk berusia 10 tahun ke atas terdiri atas 8,5 persen tak masuk SD, 23,0 persen drop out SD, dan 33,0 persen hanya tamat SD, atau penduduk berpendidikan SD ke bawah 64,5 persen. Yang bisa menamatkan SMP dan dilanjutkan ke SMA hanya 16,8 persen. Dari 42 juta usia belajar, wajib belajar hanya mencapai 32,9 persen, atau gagal 64,5 persen. Maknanya apa? Bahwa 62 tahun Indonesia merdeka Rakyat Indonesia yang tidak bisa menikmati pendidikan lebih banyak ketimbang yang bisa menikmati pendidikan. Ini tidak ada perkembangan yang significant paska politik etis.

Untuk daerah DKI Jakarta, untuk menyekolahkan anak di TK-SD orang tua mesti mengeluarkan biaya kira-kira ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Untuk SMP dan SMA lebih parah lagi harus mengeluarkan Jutaan rupiah, untuk sekolah tipe –Unggulan biaya yang dikeluarkan bisa puluhan juta. Sedangkan bagi orang tua untuk mengirimkan anaknya di bangku perguruan tinggi/Universitas harus piker-pikir dulu, karena untuk biaya pangkal saja minimal 1- sampai 3 Juta, untuk jurusan elit seperti kedokteran bisa mengeluarkan puluhan sampai ratusan juta. Ini sangat bertentangan dengan realitas bahwa menurut data resmi yang diluncurkan Bank Dunia hasil studi tentang kemiskinan di Indonesia (Kompas, 11 Desember 2006) estimasi jumlah orang miskin hampir 109 juta (49 persen) dari total penduduk Indonesia dengan indicator pendapatan 2 Dollar perhari. Jika di hitung secara matematis maka di dapatkan data ada sekitar 109 juta orang dengan pendapatan 30 × 2 US$(18.000)=Rp.540.000 per bulan harus menanggung biaya pendidikan yang berkisar 1 sampai ratusan juta rupiah.

Problem ke(2) adalah infrastruktur/fasilitas pendidikan yang sangat minim; jumlah TK-SD,SMP,SMA dan perguruan tinggi belum memenuhi kapasitas peserta didik di Indonesia. Banyak sekolah-sekolah yang ruangnya di pakai secara bergiliran, bahkan di beberapa daerah klas-klasnya di gabung padahal ini sangat tidak efektif untuk proses belajar mengajar. Selain itu keterbatasan infrastruktur ini semakin di perparah dengan kenyataan bahwa infrastruktur ini banyak yang ber-usia sudah tua dan tidak layak pakai. Sebagai contoh kejadian di Serang, Banten sebuah bangunan sekolah ambruk karena hujan terus menerus selama tiga hari. Maka tidak heran kondisi mengenaskan dari bangunan sekolah-sekolah ini menjadi kekhwatiran dari para guru, murid, dan orang tua murid sehingga sering berbuntut protes terbuka seperti kejadian pada peringatan hari pendidikan Nasional tahun 2006 di Stadion Manahan(Solo) yang membuat Yusuf Kalla ngomel-ngomel.Belum kalah mirisnya, terkadang bangunan sekolah yang terbatas ini di robohkan, (sengaja) ditutup karena arealnya mau dijadikan lahan untuk pembangunan Mall, perkantoran, atau karena komflik lahan dengan pihak swasta. Pemerintah yang mestinya berdiri melindungi kepentingan sekolah justru lepas tangan dan membiarkan hal tersebut terjadi.

Infrastruktur/fasilitas juga terkait dengan fasilitas laboratorium, buku-buku pelajaran, sarana olahraga, sarana kesenian, tempat ibadah, kantin, pusat bahasa, perpustakaan, Internet, dan lain sebagainya. Sekolah-sekolah unggulan di Jakarta yang (ber-status Internasional) manpu menyediakan fasilitas ini secara lengkap Namun problemnya hanya bisa di akses orang-orang kaya ( Anak pengusaha, Pejabat, selebriti).

Problem ke(3) adalah Kurikulum, system pendidikan dan pelembagaannya. Semasa orde baru kurikulum pendidikan di arahkan untuk kepentingan mendukung ideologis penguasa, lembaga pendidikan di control ketat oleh pemerintah. Namun di bawah pemerintahan SBY-JK pendidikan justru di arahkan untuk kepentingan Neoliberalisme; kurikulum pendidikan sama sekali tidak berkualitas (beberapa masih sesuai dengan kepentingan orde baru seperti pencantuman kata “PKI” dalam buku pelajaran sangat tidak sesuai dengan semangat reformasi), pendidikan di arahkan untuk kepentingan neoliberalisme. Kurikulum berbasis kompetensi-pun tidak mengangkat pendidikan menjadi ilmiah dan demokratis, malah aspek kekerasan buah dari hubungan sub-ordinat subjek –Objek masih terus terjadi seperti kematian siswa akibat penganiayaan oleh gurunya, atau kasus penganiayaan di IPDN. menurut Dave Meier - seorang pakar accelerated learning - Sekolah saat ini kadang-kadang mencekik dan melumpuhkan orang dan merenggut kegembiraan belajar anak didik, sehingga dapat menghalangi mereka mengasah pikiran dan mewujudkan potensi sepenuhnya. Tentu kita tidak mau anak-anak kita menjadi tumpul potensinya, dan juga tidak mau jika melihat potensi anak-anak kita mati sia-sia karena harus mempelajari yang bukan minatnya

Persoalan lainnya adalah kesejahteraan guru yang sangat minim, gaji seorang guru belum memenuhi standar hidup laya keluarganya(kebutuhan ekonomi keluarga), sehingga tidak jarang guru-guru terlibat kerja sampingan( buka usaha, jadi tukang ojek, dan lain-lain), dan ini sangat mengganggu konsentrasinya untuk mengajar. Tidak ada upaya pemerintah menambah kualitas tenaga pengajar dengan memberikan beasiswa untuk untuk melanjutkan kuliah. Di media massa seringkali kita mendengan nasib memprihatinkan dari guru-guru, seperti kasus di Mandar, Sulawesi barat seorang guru harus berjalan kaki sejauh 2 kilometer lebih untuk menghemat ongkos daripada naik angkot atau ojek(Koran SINDO). Nasib ratusan ribu guru kontrak di Indonesia sekaligus kenyataan bagaimana kondisi perbudakan modern yang di jalankan pemerintah, yang kemudian dalam beberapa kasus seperti kegagalan Ujian Nasional(Unas) kelompok inilah(guru Bantu dan guru kontrak) yang banyak di salahkan. Bagaiamana mungkin mereka bisa memaksimalkan kinerjanya kalau statusnya saja tidak jelas, apalagi kesejahteraannya.

Untuk mencari muka mendorong pendidikan nasional, sejak jaman orde baru sudah di canangkan wajib belajar 9 tahun, tetapi sama sekali tidak manpu mengurangi jumlah orng putus sekolah atau memberantas buta huruf. Penyebabnya Wajib belajar ala Indonesia tidak identik dengan wajib belajar (compulsory education) seperti yang dipersepsi oleh negara-negara maju, yang secara ekonomis telah lebih makmur. Dalam pengertian negara maju, compulsory education mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) ada unsur paksaan agar peserta didik bersekolah; (2) pemerintah menggratiskan sekolah(SD,SMP,SMA); (3) tolok ukur keberhasilan wajib belajar adalah tiadanya orangtua yang terkena sanksi karena telah mendorong anaknya bersekolah; dan (4) ada sanksi bagi orangtua yang membiarkan anaknya tidak bersekolah.

Selain itu, munculya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menjadi arus lainnya. Dalam hal ini, sekolah "dipaksa" untuk melengkapi dirinya dengan komputer dan peralatan canggih lainnya, seperti AC (pendingin ruangan) dan televisi. Akibat sampingan dari hal itu, seperti disinyalir anggota DPRD DKI Jakarta, seluruh sekolah penerima bantuan block grant di Jakarta telah menyalahi penggunaannya dengan mengalirkan bantuan untuk pembelian alat di luar keperluan anak didik (Kompas, 9 April 2005), yaitu pembelian alat yang bisa dijadikan alasan untuk pemenuhan KBK. Dari sini timbul kesan bahwa penggunaan sistem KBK, bila belum siap infrastruktur dan SDM-nya, akan menjadi alat industrialisasi.

Masih ada program dana Biaya Operasional Pendidikan(BOS) tetapi hitung-hitung manfaat dari program ini, malah banyak di selewengkan(baca; dikorupsi) oleh pihak kepala sekolah dan birokrasi Depdiknas. Kalaupun ada yang sampai ketangan sekolah itupun banyak yang salah sasaran, mestinya mengurangi biaya yang di keluarkan siswa/orang tua siswa malah dana BOS dimanfaatkan untuk hal-hal yang tidak pokok; menge-Cat dinding sekolah, memperbaiki pagar dan gerbang sekolah dan lain-lain. Program MDG,S yang juga di jalankan oleh SBY-Kalla tidak manpu mengankat martabat pendidikan nasional, hanyalah sebuah tipuan antara SBY-Kalla dan Tuannya(Modal Internasional).

2. Neoliberalisme di Lembaga Universitas

Lembaga Universitas Indonesia sejak tahun 1999 telah mengalami perubahan fundamental, seiring dengan di berlakukannya Peraturan Pemerintah RI Nomor 61/Tahun 1999 tentang penetapan perguruan tinggi negeri sebagai badan hukum. Dari 4 kampus percobaan( UI, UGM, ITB, dan IPB) kemudian bertambah 8 tahun 2000 yaitu UPI Bandung, Univ, Airlangga(Unair), Univ Diponegoro(Undip), dan Univ Sumatra Utara(USU), dan untuk tahun 2007 jumlah Perguruan tinggi negeri yang akan berubah status menjadi BHMN semakin bertambah. Kenyataan ini menunjukkan bahwa lembaga Unversitas di Indonesia mulai mengarah pada privatisasi Kampus(Neoliberalisme). Semakin agressifnya ingin menjadikan kampus-kampus di Indonesia sebagai lahan akumulasi modal maka pemerintah dan DPR pun memaksakan penegsahan RUU BHP-Badan Hukum Pendidikan.

Komersialisasi pendidikan Universitas meskipun belum berjalan sepenuhnya namun dampaknya sudah sedemikian buruknya. Pada tahun 1999(awal pemberlakuan BHMN) di perkirakan kenaikan biaya kuliah dari 300 hingga 400%. Di Universitas Indonesia uang pangkal—Admission Fee(untuk peserta seleksi SPMB) sebesar Rp.5 Juta hingga Rp 25 juta, sedangkan untuk program Prestasi Minat Mandiri(PPMM) Rp. 25 Juta-Rp75 Juta. Untuk kampus sekelas Institut Tekhnology Bandung(ITB) di kenakan Biaya Sumbangan dana Pengembangan Akademik ---bisa mencapai 45 Juta. Itu belum termasuk biaya SPP dan kebutuhan lainnya. Universitas Gajah Mada(UGM) memberlakukan Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik(SPMA) yang besarnya bisa mencapai Rp.20 Juta untuk jalur SPMB dan Non-SPMB. Argumentasi dari pendukung neoliberal bahwa biaya pendidikan sebesar itu di peruntukkan untuk kualitas pendidikan agar mengikuti standar internasional(syarat memasuki free trade). Sehingga keterlibatan swasta, atau para pemodal dalam lingkup kampus adalah untuk menolong pembiayaan kampus(konsep Otonomi Kampus) bukan lagi mengandalkan subsidi pemerintah. Mari kita lihat kebenaran argumentasi tersebut? Akibat pemberlakuan uang masuk(Biaya pendidikan) yang mahal maka bisa di pastikan bahwa banyak orang-orang yang secara IQ cerdas namun karena tidak mampu membayar sehingga tidak di terima di PTN. Pemberlakuan jalur khusus(dengan biaya puluhan juta hingga ratusan) justru lahan subur nepotisme, hanya anak-anak orang kaya yang belum tentu kualitasnya bagus masuk ke dalam PTN. Universitas seperti UGM hanya menempati urutan 77 dari 77 Universitas di kawasan Asia-Australia, apalagi universitas-universitaslain yang hanya mengandalkan “Papan nama” harus bersaing dalam kompetisi global.

Dalam persoalan fasilitas setelah BHMN juga tidak ada perubahan, di UGM mahasiswa masih memiliki problem dengan ruangan kelas yang terbatas sehingga harus berdesak-desakan. Di beberapa kampus memang di bangun fasilitas seperti jasa Internet M-Web, atau pembangun Toko buku(gramedia,dll) tetapi harganya susah di akses oleh semua mahasiswa terutama dari klas menengah kebawah. Di kampus Universitas Hasanuddin(Makassar) setelah BHMN di lakukan renovasi dan pembangunan fasilitas besar-besaran(satelit, Bis Kampus, AC untuk tiap ruangan, kamera CCTV) tetapi semua fasilitas ini harus di bayar mahal oleh mahasiswa dengan mengbengkaknya biaya pendidikan SPP dan lain-lain, belum lagi untuk mengakses fasilitas tersebut harus membayar Fee—dengan kedok biaya penelitian.

Korporasi yang merambah kampus sekarang bukan hanya dalam bentuk penempatan orang di Majelis Wali Amanat(MWA), tetapi juga pembentukan Unit Komersil yang berada di bawah naungan WMA. Di berbagai PTN/bahkan PTS di Indonesia kita bisa menjumpai minimarket (semisal Alfamart), layanan Bank dan ATM-nya(BNI, BCA, Mandiri), Jasa komersil internet-an, Mc. Donald, dan lain-lain. Fasilitas-fasilitas kampus yang di bangun dengan dana mahasiswa dan Subsidi pemerintah( Pajak Masyarakat) justru kini di komersilkan seperti Aula, Gelanggang Olahraga, asrama mahasiswa, hingga perpustakaan. Gedung alumni IPB lebih sering di pakai untuk seminar umum ketimbang di pergunakan oleh mahasiswa, Baruga AP Pettarani(Auditorium UNhas) lebih sering dipergunakan oleh pihak luar untuk acara-acara seminar, pernikahan, dan lain-lain ketimbang di manfaatkan mahasiswa.

Ancaman terbesar mahasiswa saat ini (selain UU Sisdiknas, PP Nomor 61/Tahun 1999 yang sudah berlaku) adalah pengesahan RUU-BHP, Alih-alih menjadi lembaga universitas menjadi mandiri secara finasial. Justru semangat utama RUU-BHP adalah swastanisasi dan Komersialisasi pendidikan, pendidikan akan berubah menjadi bahan dagangan yang tidak lagi menitikberatkan kualitas. Dalam RUU BHP antara lain disebutkan kepemilikan PTS oleh yayasan, perorangan, atau badan hukum maksimal memiliki saham 35 persen dan sisanya "dijual" kepada masyarakat yang berminat. Memang tidak adalagi kesenjangan swasta dan PTN tetapi kenyataannya adalah bahwa pendidikan semakin mahal dan susah di jangkau oleh warga masyarakat. semua kebijakan ini hanyalah pelaksanaan dari kebijakan World Trade Organization(WTO) yakni General Agreement on Trade and Service(GATS), sebuah aturan pemaksaaan bagi Negara-negara dunia ketiga untuk meliberalkan sector pendidikan, dan sekaligus membuka kampus untuk para pemodal menanamkan modalnya.

Jelaslah bahwa biaya pendidikan yang semakin mahal semakin menghalangi keinginan lulusan SMA dari klas menengah dan bawah untuk mengandalkan otak dan prestasi akademiknya karena itu tidak di hargai dalam kampus neoliberal. Akibatnya jumlah orang yang kuliah di Universitas terus menerus turun, lihat saja untuk tahun 2003 hanya 10% dari penduduk usia mengenyam pendidikan Perguruan tinggi yang bisa mengenyam pendidikan. Kampus yang sudah telanjur besar dengan mudah membuat jejaring dengan dunia usaha sehingga kian maju. Sebaliknya, kampus yang terbelakang sulit dilirik oleh dunia usaha sehingga tetap tertinggal di tengah ketatnya persaingan pasar. Van Hoof & Van Wieringen (1986)mengatakan dalam suatu konferensi pendidikan tinggi Eropa, "Jika pemerintah suatu negara tidak secara serius memerhatikan arah dan pengelolaan pendidikan tinggi di negaranya, dapat dipastikan pembangunan ekonomi Negara tersebut akan terhambat."

Perubahan struktur ekonomi-politik kampus kea rah neoliberalisme, telah merubah paradigma pendidikan kapitalisme bukan hanya sekedar sebagai penyedia robot-root untuk industri, menyediakan riset, media transmisi ideology Negara tetapi di jaman sekarang(baca; Neoliberalisme) kampus telah menjelma sekaligu tidak ubahnya pasar. Dimana hanya orang-orang yang memiliki kesanggupan daya beli-lah yang bisa mengaksesnya, sedangkan orang-orang miskin cukup melihat-lihat dari luar.

Selain persoalan biaya pendidikan yang semakin mahal(komersialisasi) akibat utama reformasi neoliberalisme di perguruan tinggi adalah kurikulum yang sangat mengabdi kepada pasar tenaga kerja(Labour Market). Dalam kasus BHMN kampus telah berubah status menjadi reserarh University(dulu di cetuskan di jerman Untuk mendukung pemerintahan NAZI melakukan penemuan baru dalam persenjataan). Yang salah dari konsep ini penemuan technology dan IPTEK bukan di peruntukkan untuk kepentingan seluruh umat manusia, tetapi nantinya akan di kuasai oleh Korporasi Asing dalam bentuk Hak Cipta dan hak paten. Selain itu pendidikan di Universitas akan menjalin kerjasama dengan korporasi-korporasi dengan pola Link and Match atau pola magang di korporasi untuk ketersediaan tenaga professional. Jelas status BHMN tidak menghasilkan kualitas seperti yang dimitoskan, malah status ini menjerat pendidikan sekedar mesin penjaga kestabilan akumulasi modal dalam alam kapitalisme. Hubungan tidak linear antara PT dan sektor ekonomi disebabkan oleh pergeseran paradigma penyelenggaraan PT sebagai akibat langsung industrialisasi modern pasca-Perang Dunia II. Para pakar ekonomi sosial,
seperti Castells (2000), Callinicos (1999), dan Rifkin (2000), mencatat, semangat membangun kembali setelah perang melalui industrialisasi modern menumbuhkan tuntutan pragmatis masyarakat atas peran PT.  Pola pengelolaan modal industri membentuk persepsi masyarakat bahwa investasi ekonomi dalam bidang pendidikan juga harus kembali dalam bentuk profit ekonomi. Akibatnya, tolok ukur masyarakat atas keberhasilan pendidikan adalah kerja yang mengembalikan investasi.  

Imbas lain dari BHMN-isasi ini adalah persoalan tatahubungan kelembagaan dalam Universitas yang tidak demokratis, penyebabnya posisi lembaga mahasiswa tidak sederajat dengan birokrasi kampus. Status Badan Hukum telah merubah wajah kampus menjadi anti Unionisme(serikat mahasiswa),di berbagai kampus yang menjalankan Badan hukum ini sangat anti dengan aktivitas gerakan mahasiswa. Di UI tahun 1990/2000 dilakukan DO/skorsing terhadap mahasiswa kritis, di Universitas hasanuddin hal yang sama juga dilakukan terhadap mahasiswa(Korbannya si penulis Makalah ini), di USU, dan berbagai kampus di Indonesia. Penyempitan ruang demokrasi bagi mahasiswa untuk melakukan aktivitas kemahasiswaan(kecuali untuk minat dan bakat/UKM) hampir terjadi dimana-mana. Di IKIP Mataram protes mahasiswa karena keluarnya kebijakan yang tidak melibatkan mahasiswa memakan korban mahasiswa (Ridwansyah, tewas terbunuh oleh preman yang dibayar rektorat). Di berbagai kampus di keluarkan kebijakan pelarangan melakukan aktivitas mimbar bebas, melakukan diskusi, pelarangan mengedarkan selebaran, bahkan pelarangan berorganisasi(terutama organisasi radikal).

3. SBY-JK Anti Kemajuan Pendidikan Nasional(Sumber Daya Manusia Yang berkualitas-Modern-Kerakyatan).

Kebohongan SBY-JK dengan realisasi anggaran 20 % dalam APBN adalah bukti bahwa SBY-JK tidak punya itikad baik untuk memajukan pendidikan nasional, ini sangat beda dengan komitmen seorang Bupati Jembrana yang berani menggratiskan Pendidikan di daerahnya kendati Jembrana bukanlah kategoti daerah ber-pendapatan Asli Daerah(PAD) tinggi. Upaya memaksakan pemberlakuan RUU BHP-sebagai implementasi dari kehendak WTO dalam General Agreement On Trade and Service(GATS) adalah bukti persekongkolan pemerintahan SBY-Kalla dan DPR untuk mendorong pendidikan kearah Liberalisasi dan privatisasi. Pendidikan nasional terus di remehkan, di hilangkan watak ilmiahnya, dan rasionalitasnya semakin terjebak dalam pragmatisme korporasi-korporasi. Di bawah panji-panji neoliberalisme Universitas dipaksa mencari sumber pendanaan sendiri, anggaran pendidikan dari pemerintah semakin di perkecil bahkan coba untuk dihilangkan. Data dari PBB dan Bank Dunia menunjukkan bahwa dana untuk mencapai target pendidikan dasar secara global memerlukan US$ 8 milyar dolar setiap tahunnya, atau setara dengan dana untuk kegiatan militer secara global selama 4 hari saja. Dalam setahun, kegiatan militer global menghabiskan biaya sebesar US$ 780 milyar, atau US$25 ribu per detik. Mengingat fakta ini, patut dipertanyakan, apakah memang terhambatnya pendidikan lebih dikarenakan kurangnya sumber dana atau tidak adanya kemauan politik dari negara-negara dunia, khususnya negara-negara utara yang telah memberikan komitmennya untuk mengalokasikan dana hibah yang lebih besar bagi pendidikan di negara-negara berkembang?

SBY-Kalla mencoba menutupi kebohongannya dengan sejumlah ilusi baru; misalnya pemberian beasiswa kepada aktivis mahasiswa, kemudahan untuk beasiswa luarnegeri, program bantuan untuk penyelesaian study, dan lain-lain. Namun program tersebut tidak sanggup menghentikan kesenjangan sosial dalam memperoleh pendidikan layak dan berkualitas, tetap saja orang miskin tidak tertolong. Menurut Faisal Basri, seorang pengamat ekonomi, justru mengkhawatirkan anggaran 20 persen itu akan menciptakan Depdiknas sebagai gudang korupsi. Sementara itu, Rektor Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta Sofian Effendi mengingatkan bahwa alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN itu tidak berpengaruh banyak pada biaya pendidikan tinggi. Biaya pendidikan tinggi tidak serta merta akan murah. Dengan asumsi total APBN mencapai 550 sampai 660 trilyun rupiah, maka anggaran 20 persen itu sama dengan 120 trilyun rupiah. Dari jumlah tersebut, perguruan tinggi diperkirakan mendapat 20 persen atau sekitar 24 trilyun rupiah. Dana itu harus digunakan untuk seluruh perguruan tinggi negeri dan swasta dengan total mahasiswa sekitar 4 juta orang. Padahal, kata Sofian seperti ditulis Media Indonesia (3/4), anggaran mahasiswa standar nasional untuk Strata Satu adalah 18,1 juta rupiah per mahasiswa per tahun, atau sama dengan 72 trilyun pertahun. Dengan demikian, anggaran yang ditetapkan MK pun tidak mencapai standar nasional. Dan tidak bia diharapkan akan menurunkan biaya pendidikan tinggi.

Dan jika dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Malaysia, anggarannya jauh di atas Indonesia. Di Malaysia, anggaran untuk mahasiswa mencapai 114 juta rupiah per mahasiswa per tahun. Dan ini belum termasuk soal pengembangan sumber daya manusia yang juga membutuhkan biaya besar.

Jika Mau sebenarnya SBY-Kalla bisa menggratiskan pendidikan, selama ini Anggaran negara banyak di hambur-hamburkan untuk sektor yang bukan kebutuhan mendesak(darurat) Rakyat. Misalnya dalam APBN posting untuk membayar hutang luar negeri masih sangat besar, (contoh untuk tahun 2005) alokasi pembayaran hutang yang terdiri dari bunga hutang dalam negeri sebesar Rp. 38,84 trilyun, bunga hutang luar negeri Rp. 25,14 trilyun dan cicilan pokok hutang luar negeri Rp. 46,84 trilyun, hal tersebut artinya pembayaran utang luar negeri telah menggerogoti 25,10% dari total belanja negara yang berjumlah Rp. 441,61 trilyun, serta menguras pendapatan negara sebesar 29,33%. Bayangkan untuk total anggaran yang direncakan pemerintah dari tahun 2006-hingga 2009 yang hanya sebesar 210 trilyun. Selama ini perangkat Hutang telah di jadikan jerat/debt Trap bagi negara-negara selatan(baca;negara miskin) Karena itu sangatlah tepat thesis yang mengatakan bahwa utang merupakan instrumen utama yang digunakan imperialis untuk mempertahankan akses bahan baku murah di negara lain, terutama negara-negara berkembang. Untuk menutupi hutangnya kepada negara-negara maju, negara-negara berkembang tersebut saling berlomba memacu ekspornya ke negara- negara maju. Akibatnya terjadi kejenuhan pasar, sehingga harga komoditas tersebut semakin tertekan yang berdampak pada penurunan pendapatan produsen (misalnya, petani) di negara berkembang. Sementara negara-negara maju yang terletak di belahan utara menikmati surplus dan produk harga murah dari negara berkembang.

Janji-janji bohong SBY-Kalla untuk menggratiskan pendidikan hanyalah sebahagian kecil bukti bagi kita untuk membuktikan bahwa pemerintahan ini tidak akan mau mencerdaskan kehidupan bangsa. Partai-partai borjuis yang kini berkuasa diparlemen dan tidak berjuang mencabut/menolak keberadaan UU/RUU yang berbau Komersialisasi/Privatisasi seperti UU sisdiknas No. 20 tahun 2003, PP nomor 61/tahun 1999, RUU BHP,RPP tentang Pendidikan Dasar dan Menengah. RPP ini tidak membicarakan tentang tanggung jawab pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan, dan RPP Wajib Belajar yang tidak konsisten dari pemerintah(mengharuskan wajib belajar tetapi tidak menciptakan syarat-syaratnya).

4. Perlawanan Terhadap Upaya Meng-Komersialisasikan Pendidikan

Perubahan status BHMN di berbagai kampus negeri mendapat penolakan mahasiswa, di UI mahasiswa yang menolak di kenakan DO/skorsing, di Universitas hasanuddin juga dilakukan D.O/Skorsing terhadap aktivis mahasiswa yang menolak BHP, bahkan pembekuan lembaga kemahasiswaan yang ber-posisi menolak kebijakan rektorat. Di USU ketua Presiden Mahasiswa USU di D.O karena berupaya membongkar kasus korupsi rector USU. Di Universitas Sam Ratulangi(Unsrat) Manado sosialisasi BHP di gagalkan oleh aksi spontan mahasiswa, karena Unsrat juga di prediksikan akan mengarah ke BHMN. Naiknya biaya pendidikan telah menimbulkan perlawanan dari massa mahasiswa, di UGM aksi mahasiswa mendapat dukungan dari tenaga pengajar(dosen), demikian pula di Unsrat Manado aksi mahasiswa mendapat sokongan penuh dari tenaga pengajar. Kejadian serupa juga pernah terjadi di kampus UPN (Surabaya), Unila(Lampung), Univ.Udayana(Bali) dan beberapa kampus lainnya di Indonesia.

Catatan untuk perlawanan mahasiswa dan (sedikit) tenaga pengajar(dosen) ini adalah bahwa(1) perlawanan ini masih relatif kecil, belum melibatkan massa luas mahasiswa padahal persoalan biaya pendidikan adalah kepentingan mayoritas mahasiswa.(2) perlawanan ini masih ber-sifat lokalis dan spontan, tidak ada jaringan antar kampus yang mengkoordinasikan perlawanan mahasiswa. Padahal kebijakan ini akan merambah keseluruh Universitas di seluruh Indonesia, sehingga butuh perlawanan dalam skala nasional pula yang di organisasikan oleh sebuah komite nasional. (3) pemahaman aktivis mahasiswa masih cupet, terkadang persoalan –persoalan di kampus dianggap terpisah dengan akibat proyek neoliberal di sektor rakyat lainnya. Sehingga menurut pandangan cupet ini, agenda menolak BHP/BHMN cukup menjadi agenda mahasiswa saja.

Materi Dasar LMND (kurikulum baru) Mahasiswa dan Neoliberalisme



Politik Persatuan Mahasiswa adalah Politik Anti Imperialis

Oleh: RUDI HARTONO

Sepintas Lalu tentang Pendidikan Nasional

Sudah lama pendidikan nasional berjalan dalam kerawanan. Pendidikan nasional diarahkan agar lebih memenuhi tuntutan dan perkembangan kapitalisme. Penyesuaian-penyesuaian terhadap tuntutan kapitalisme mutakhir telah menyeret pendidikan nasional menjauh dari tujuan-tujuan pokok sistem pendidikan itu sendiri. Seperti yang diuraikan dengan panjang lebar oleh Bukharin, pendidikan dibawah kapitalisme memiliki tiga prinsip utama; pertama menginspirasikan kepada generasi dimasa depan dari kaum pekerja agar tetap mengungkapkan kesetiaan dan penghargaan kepada rejim kapitalisme. Kedua menciptakan kaum muda dari kebudayaan klas penguasa yang mengontrol seluruh masyarakat pekerja, ketiga memberikan bantuan teknik dan pengetahuan kepada Industri kapitalis demi kesinambungan akumulasi profit.

Dibawah kolonialisme, pendidikan benar-benar diarahkan guna memenuhi kebutuhan yang sifatnya mendesak dari tujuan kaum kolonialis, seperti tenaga kerja terampil, tenaga rendahan dalam kepegawaian, dan tenaga-tanaga kerja lainnya yang membutuhkan keterampilan baca-tulis. Sekolah-sekolah yang didirikan memiliki orientasi berbeda secara khusus, tergantung kepada cakupan klas-klas sosial yang dihimpunnya. Misalnya, Eerste Klass Inlandsche (sekolah bumiputera angka satu) untuk anak-anak priayi dan orang-orang berada dan Tweede Klass Inlandsche Scholen (sekolah bumiputera angka dua) untuk anak-anak rakyat kebanyakan (klas-klas miskin). Belum lagi pendirian sekolah-sekolah khusus yang hanya boleh diakses oleh anak-anak keturuan pejabat Belanda atau anak-anak pribumi keturunan ningrat.

Ketika Indonesia merdeka, tidak ada yang benar-benar berubah atau hilang dari sistem pendidikan kolonial tersebut. Ketika Bung Karno masih berkuasa, ada upaya menyingkirkan pendidikan kolonial dari pendidikan nasional dengan menarik pendidikan masih dalam lapangan perjuangan anti-imperialis. upaya ini mendapat penentangan kuat dari kelompok kanan dengan menciptakan independensi terhadap lembaga-lembaga pendidikan mereka, serta menjalankan propoganda melawan usaha pemerintah. Kesuksesan pendidikan dibawah Bung Karno adalah pengalihan keuntungan dari minyak dan tambang hasil nasionalisasi untuk program pendidikan rakyat. Kemajuan yang dibuat dalam mendirikan gedung-gedung sekolah dan memberikan pelatihan pemula pada guru-guru selama tahun 1950-an begitu mengesankan. Pada tahun 1950, orang yang bisa baca-tulis diperkirakan 10% dan diperkirakan terdapat 230 orang Indonesia yang memiliki pendidikan lanjutan (setingkat SMU) lulusan lembaga-lembaga pendidikan kecil yang didirikan Belanda. Dalam sepuluh tahun, orang-orang yang bisa baca-tulis telah meningkat menjadi lebih dari 80% dan sekolah-sekolah hampir ada di setiap desa. Selain sistim pendidikan negara, sekolah-sekolah agama juga memperkenalkan kurikulum baru dan menyebarluaskan baca-tulis kepada orang-orang Indonesia.

Proses pembebasan pendidikan dari kungkungan kolonialisme terhenti ketika Orde Baru mulai berkuasa. Kendati tidak sepenuhnya memberikan keleluasaan penuh kepada swasta untuk menanamkan modalnya dalam sektor pendidikan. Pendidikan merupakan lapangan penting bagi Orde Baru untuk memerangi musuh politiknya yaitu komunisme, sosialisme, dan nasionalisme progressif. Upaya ini disebut beberapa kalangan sejarahwan sebagai upaya penghapusan ingatan. Semua tulisan Soekarno, pimpinan-pimpinan dan intelektual-intelektual PKI serta organisasi-organisasi kiri lainnya dilarang, menghilang dari semua toko buku dan perpustakaan. Orde Baru mulai secara total menulis kembali sejarah Indonesia yang akan disebarkan di sekolah, universitas, dan malalui media massa. Tugas tersebut diemban oleh Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata, yang dipimpin oleh seorang sejarawan yang dipakai oleh Angkatan Bersenjata (Angkatan Darat) dan diberi gelar tituler Brigadir Jenderal: Nugroho Notosususanto. Sejarah resmi Indonesia diproduksi oleh negara. Buku teks ditulis bagi semua tingkatan sekolah dan dicoba dalam berbagai bentuk sepanjang 32 tahun. Pendidikan dibawah Orde Baru bukan saja menghapuskan ingatan pada sejarah progressif dimasa sebelumnya, akan tetapi juga mereproduksi tipe manusia baru yang penurut, patuh, tidak banyak bicara, tapi sangat korup dan tidak mau mengeluarkan keringat.

Ketika Orde Baru tumbang, adanya sedikit keterbukaan politik mulai menggeser monopoli pengetahuan versi orba meskipun tidak seluruhnya. Tidak banyak kurikulum yang berubah di sekolah-sekolah tingkatan bawah seperti SD, SMP, dan SMU. Perubahan justru agak terlihat dilingkungan Universitas universtas besar. Munculnya dosen-dosen atau professor yang berfikiran liberal atau progressif, sedikit banyak mempengaruhi cara pandang mahasiswanya. Umunya ideology utama yang mendominasi universitas paska tumbangnya orba adalah liberalisme yang merupakan perangkat dari sistem pasar. kesepakatan pemerintah Indonesia dengan pihak IMF dalam Letter Of Intent (LoI) menggeser fungsi pendidikan lebih menyesuaikan diri dengan tuntutan dari perkembangan kapitalisme. Neoliberalisme merambah Universitas sejak tahun 1999, dengan keluarnya kebijakan PP No.60 dan 61 Tahun 1999 tentang BHMN.

Pendidikan versus Imperialisme

Persetujuan Letter of Intent (LoI) sebetulnya sudah menjadikan pendidikan lepas dari tangan negara, kemudian dilemparkan kepada mekanisme pasar. istilah otonomi kampus hanyalah makna hiasan seolah-olah kampus sanggup independen, berdiri-sendiri, tidak bergantung kepada negara dalam hal mobilisasi anggaran, tetapi kenyataannya kampus semakin dekat dengan kepentingan pemodal yang duduk dalam Majelis Wali Amanat (MWA). Proses pelenyapan fungsi negara dalam bidang pendidikan berkesesuaian dengan hilangnya intervensi negara dalam kehidupan ekonomi, seperti yang dianjurkan oleh neoliberalisme. Dan memang sangat menggiurkan bagi pemilik modal mengingat bahwa Indonesia adalah pasar yang menguntungkan dengan penduduk yang berjumlah 200 juta lebih dan sekitar 102, 6 juta penduduk usia sekolah akan dijadikan pangsa pasar.

Situasi pendidikan nasional sungguh memprihatinkan. Ditengah tuntutan harus memajukan tenaga-tenaga produktif nasional sebagai syarat berkembang maju, sistem pendidikan nasional justru dilemparkan dalam mekanisme pasar. gejala ini bukan terjadi di Indonesia saja, tetapi juga dipaksakan terhadap lembaga pendidikan dinegara-negara berkembang lainnya, bahkan di lembaga pendidikan negara maju (meskipun agak pelan). Inilah yang disebut sebagai imperialisme, yang gejalanya sudah dianalisa dan dijelaskan dengan rigid oleh V. Lenin. Imperialisme telah menggantikan kompetisi bebas dengan kapitalisme monopoli sebagai prinsipnya. Sektor pendidikan nasional berhadapan dengan serbuan imperialisme dalam dua hal; pertama, pemaksaan terhadap penghilangan tanggung jawab negara dan keharusan melepas sektor pendidikan dalam mekanisme pasar bebas, seperti yang dianjurkan dalam perjanjian General Agreement On Trade and Service (GATS) oleh WTO. Pendidikan diserahkan kepada mekanisme pasar mengakibatkan biaya pendidikan semakin mahal dan rakyat kebanyakan susah untuk mengaksesnya. Kedua, pendidikan nasional disubordinasikan dibawah tujuan-tujuan imperialis; pemasok tenaga kerja murah, penelitian dan pengembangan technology kapitalis, dan menanamkan ideology individualisme dan konsumerisme terhadap masyarakat.

Serbuan imperialisme terhadap sektor pendidikan adalah bagain dari serangan umum terhadap ekonomi nasional, sehingga secara bersamaan kehidupan sosial dan ekonomi dirusakkan oleh kaum Imperialis. sehingga, perjuangan melepaskan pendidikan dari imperialisme tak dapat dipisahkan dengan perjuangan rakyat Indonesia secara umum. Inilah hakekat dari perjuangan pembebasan nasional, dimana mahasiswa harus menjadi unsure dan berada digarda depan.

Posisi Mahasiswa dan Perjuangan Pembebasan Nasional

Pendidikan merupakan sebuah inti dari kemajuan tenaga produktif nasional. Gerak maju bangsa Indonesia untuk berkembang menjadi sebuah bangsa modern, mandiri dan bermartabat terhalang oleh masih berkuasanya susunan ekonomi Imperialisme dalam ekonomi didalam negeri. Imperialisme telah menguasai sumber daya dan seluruh kekayaan alam nasional tanpa menyisakan sedikitpun, sehingga sektor pendidikan kekeringan anggaran. Imperialisme pula yang mengharuskan sistem pendidikan nasional dilempar kepada mekanisme pasar guna akumulasi profit mereka.

Meskipun tidak menapikan kebutuhan mengankat isu-isu sektoral guna membangkitkan massa luas mahasiswa, akan tetapi perlu ditegaskan bahwa poros perjuangan pokok mahasiswa sekarang ini adalah anti-imperialisme atau pembebasan nasional. harus dijelaskan kepada massa luas mahasiswa, bahwa tidak ada pendidikan yang bisa diakses luas oleh seluruh rakyat, tidak ada mutu dan kualitas pendidikan, tidak ada pendidikan kerakyatan jikalau sektor pendidikan masih dikankangi oleh Imperialisme.

Oleh karena itu, gerakan mahasiswa harus menyokong sepenuh-penuhnya perjuangan pembebasan nasional. sehingga dalam kepentingan ini, beberapa isu yang merupakan program dari pembebasan nasional oleh dimengerti dan dipahami oleh semua massa mahasiswa;

A. Tuntutan Nasionalisasi Perusahaan Pertambangan Asing;

Syarat bebas bagi perkembangan ekonomi nasional adalah perkembangan tenaga-tenaga produktif (teknik produksi dan sumber daya manusia). Ketika memacu pertumbuhan produksi didalam negeri, sektor Industri harus difasilitasi berkembang dan klas pekerja harus diberikan jaminan kesejahteraan berupa upah yang layak. Ini hanya akan berhasil jika seluruh kekayaan alam dan dimobilisasi demi kepentingan Industri nasional. Saat ini, usaha untuk membangun dan memperkuat Industri dalam negeri berhadapan dengan serbuan ekonomi kaum Imperialis. Imperialisme yang berwatak monopoli menghendaki penguasaan sumber bahan baku dan material milik negara-negara dunia ketiga, mengusai perdagangan komoditi dan pasar dunia ketiga, dan mengusai massa pekerja kita guna memperbesar akumulasi profit (laba) mereka.

Imperialisme yang berwatak monopoli telah menempatkan negara-negara bangsa (nation) yang terbelakang sebagai sumber penghisapan dan sasaran eksploitasi. Dalam derajat tertentu, hal tersebut memicu lahirnya gerakan pembebasan nasional, yang kadang diikuti bahkan dipimpin dengan bersemangat oleh borjuasi nasional yang tersingkirkan pula oleh Imperialisme. borjuis membutuhkan nation sebagai benteng membangun dan menata modalnya dalam tahap awal.

Tidak akan ada kesempatan membangun ekonomi nasional jikalau susunan ekonomi Imperialis masih mendominasi. Harus ada upaya untuk merebut kembali semua sumber daya alam kita yang sekarang dikuasai oleh pihak asing. Sektor energi kita yang cukup vital, sekitar 90% dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing (MNC), demikian pula dengan mineral dan lain-lain. Akibat pengusahaan asing terhadap sumber-sumber energi dan mineral menyebabkan Industri dalam negeri berjalan kearah kolaps. Tindakan pertama yang seharusnya dilakukan untuk menyelamatkan ekonomi nasional dan menciptakan basis industrialisasi nasional adalah melancarkan pengambil-alihan (nasionalisasi) terhadap perusahaan pertambangan asing, kemudian dilanjutkan kepada perusahaan asing vital lainnya. Sehingga nasionalisasi terhadap perusahaan tambang asing tidak dapat ditunda-tunda lagi. Nasionalisasi harus ditempatkan sebagai bagian dari perjuangan menegakkan martabat dan kedaulatan bangsa, dimana bangsa indonesia memiliki posisi setara dengan bangsa-bangsa lain di dunia, termasuk korporasi asing.

B. Penghapusan Utang Luar Negeri

Utang merupakan jerat yang diikatkan kepada leher rakyat dunia ketiga guna memaksa mereka menjalankan kewajiban Washington Consensus. Sejarah utang dalam perekonomian Indonesia sebagian merupakan warisan kolonialisme (Konferensi Meja Bundar), dibawah orde baru, kemudian semakin diperkuat lewat kerjasama dengan IMF setelah reformasi. Saat ini, jumlah utang luar negeri kita mencapai US$ 136,640 miliar (2007) dengan posisi pembayaran cicilan pokok dan bunga setiap tahunnya dalam APBN mencapai Rp. 90 trilyun. Besarnya rasio pembayaran cicilan utang pokok dan bunganya dalam APBN (mencapai 30-40%) menyebabkan anggaran untuk pelayanan publik; pendidikan, kesehatan, dan lain-lain terbengkalai.

C. Industrialisasi Nasional

Industri didalam negeri tidak pernah dikembangkan guna memenuhi kesejahteraan rakyat. Karena sepenuhnya pengembangan Industri didalam negeri disesuaikan dengan kepentingan perluasan dan ekspansi kapital sebagai kelanjutan dari ekonomi kolonial yang sempat terinterupsi di era Soekarno. Kapitalisme monopoli yang tumbuh menggantikan kompetisi bebas mencaplok kapital kecil dan domestic, sehingga kapital domestic (dalam negeri) buat benar-benar bergantung pada kapital asing. Tergantung dalam hal permodalan, bahan baku, teknologi, sampai dengan pasar. Ketergantungan industri dalam negeri menyebabkan produktifitas nasional tidak berkembang maju, tidak juga memprogressifkan hubungan-hubungan produksi sehingga melahirkan sebuah relasi produksi yang bisa memenuhi kesejahteraan rakyat.

Industri dalam negeri tidak memili basis Industri dasar yang kuat. Kebanyakan Industri yang berdiri merupakan industri rakitan. Ciri lain industri yang tumbuh adalah rendah teknologi sehingga, tidak membutuhkan tenaga kerja yang berketerampilan. Rendahnya kapasitas Inudstri dalam negeri dan sepenuhnya sangat tergantung kepada asing menyebabkan nilai tambah yang dihasilkannya cukup kecil. Hal itu berdampak pada rendahnya upah dan kesejahteraan para pekerja.

Program Industrialisasi nasional dimaksudkan untuk memobilisasi seluruh sumber daya (sumber daya alam, tekhnologi, dan SDM) untuk membangun dan memperkuat industri dalam negeri; industri minyak, petrokimia, besi dan baja, sintetis, dll.

Perjuangan Mahasiswa dan Front Persatuan Nasional

Perjuangan anti Imperialisme akan bermuara pada kemenangan, jika gerakan mahasiswa bisa menerapkan politik persatuan yang tepat. Politik persatuan disini adalah prinsip pengakumulasian kekuatan massa dan dukungan massa rakyat terhadap tahapan perjuangan yang berada didepan mata. Didalam menjalankan persatuan, prinsip utamanya adalah memperlebar kawan dan mengisolasi musuh dengan tidak menanggalkan independensi politik kita (politik perjuangan klas). Ketika berpraktek, tidak jarang kita menemukan politik persatuan yang kaku, reaksioner dan merugikan perjuangan secara umum. Banyak yang menyerukan persatuan dalam seruan-seruan politik, tetapi menerapkan persyaratan (kesepakatan) yang terlampau ketat sehingga hasilnya persatuan minoritas kecil (sekte). Tipe politik persatuan seperti ini dikatakan sebagai politik pintu tertutup.

Imperialisme berkuasa dengan mulus berkat kemampuannya membangun kekuasaan politik dinegara-negara dunia ketiga. Dibelahan dunia ketiga, tersebar pemimpin-pemimpin politik yang hidup dari pundi-pundi sebagai hadian modal asing atas jasanya membuka jalan terhadap imperialisme. Soeharto di masa lalu masuk dalam kategori tersebut, meskipun kemudian rejim Orba bergeser memperkaya dinastinya dan membangun jarak dengan modal asing untuk memperkaya diri dan kroninya. Pemerintahan SBY-JK dimasa sekarang boleh dikatakan murid baru imperialis yang sangat patuh. Kepatuhan SBY-JK diperlihatkan dengan begitu agressif menjalankan washintong consensus dan menyerahkan kedaulatan nasional secara bulat-bulat kepada modal asing.

Rejim yang berkuasa sekarang, ataupun rejim-rejim sesudahnya jikalau tetap menjadi alas kaki modal asing, merupakan musuh rakyat Indonesia didalam negeri. Perjuangan anti-imperialisme harus menyingkirkan rejim-rejim pesanan asing di tahap pertama, kemudian dilanjutkan dengan memblokade semua kepentingan asing didalam negeri. Sehingga, perjuangan anti-imperialisme haruslah mewujudkan sebuah pemerintahan yang berdasarkan demokrasi kerakyatan, yang menyingkirkan semua praktek imperialisme baik dilapangan ekonomi, politik, ataupun budaya.

Untuk menyingkirkan borjuis nasional antek asing, politik persatuan harus berhasil memenangkan atau menarik keberpihakan klas menengah dan borjuasi nasional progressif dalam Front Persatuan Nasional. kita perlu melakukan hal itu untuk menegaskan perpisahan unsur-unsur tersebut dengan kelompok borjuis yang benar-benar kaki tangan asing. Front Persatuan Nasional berdiri untuk memimpin persamaan kepentingan klas pekerja, pemuda dan mahasiswa, serta klas-kelas terhisap untuk mewujudkan Demokrasi Kerakyatan dengan tujuan-tujuan spesifik dari borjuis nasional progressif terhadap kelahiran sebuah bangsa mandiri, yang mengakomodir (untuk sementara) kepentingan borjuisme mereka; mengembangan industri nasional (industri berat, menengah, ringan) untuk tujuan memenuhi kebutuhan rakyat Indonesia. Jika hal tersebut sudah terwujud, maka selubung-selubung nasional yang menutupi perjuangan klas sudah tersingkap dan membuka babak baru bagi perjuangan klas pekerja untuk Demokrasi yang sesejatinya; masyarakat tanpa klas.

Materi Dasar LMND (kurikulum baru) SGM



GERAKAN MAHASISWA INDONESIA

Sejarah Gerakan Mahasiswa di Indonesia tidak banyak berbeda dengan sejarah Gerakan Mahasiswa pada umumnya dibelahan dunia manapun. Gerakan Mahasiswa yang didominasi oleh para pemuda yang memiliki watak orang muda yaitu menginginkan perubahan. Dan lahirnya Gerakan Mahasiswa itu tidak dengan perencanaan sebelumnya yang matang, melainkan banyak dikarenakan adanya momentum politik di Indonesia. Pembuktian sejarah gerakan mahasiswa Indonesia sesuai dengan konteks zamannya, haruslah memberikan kesimpulan apakah gerakan tersebut, dalam orientasi dan tindakan politiknya, benar-benar mengarah dan bersandar pada problem-problem dan kebutuhan struk­tural rakyat Indonesia. Orientasi dan tindakan politik merupakan cermin dari bagaimana mahasiswa Indonesia memahami masyarakatnya, menentukan pemihakan pada rakyatnya serta kecakapan merealisasi nilai-nilai tujuan atau ideologinya.

Nilai lebih organisasi dalam gerakan mahasiswa hanyalah bermakna bahwa di dalam organisasi, mahasiswa ditempa dan dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Pemahaman terhadap masyarakat dan persoalan-persoalannya.

2. Pemihakan pada rakyat.

3. Kecakapan-kecakapan dalam mengolah massa.

Ketiga syarat tersebut mencerminkan:

1. Tujuan dan orientasi gerakan mahasiswa.

2. Metodologi gerakan mahasiswa.

3. Strukturalisasi sumber daya manusia, logistik dan keuangan gerakan mahasiswa, dan

4. Program-program gerakan mahasiswa yang bermakna strategis-taktis.

ILUSTRASI TENTANG PERKEMBANGAN GERAKAN MAHASISWA

Murid-murid STOVIA mencoba memulai gerakan dengan mendirikan Trikoro Dharmo pada tahun 1915. Organisasi-organisasi yang tumbuh kemudian adalah juga organisasi pemuda kedaerahan (Jong Sumatera, Jong Celebes, Jong Minahasa, dsb.) dan belum tercipta konsolidasi. Baru dengan prakarsa Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI), beberapa organisasi kedaerahan dilebur menjadi Indonesia Muda (IM) pada tahun 1930.

Tahun 1915-1930 merupakan waktu yang cukup panjang bagi pemuda dan pelajar untuk memilki penjelasan yang lebih jernih tentang nasionalisme yang melekat pada organisasi Indonesia Muda dan melepaskan dirinya dari keorganisasian sektarian pemuda dan mahasiswa guna mempertajam orientasi anti-kolonial. Selain itu juga gerakan ini telah melewati masa-masa sulit: kelumpuhan pergerakan nasional akibat pemerintahan kolonial yang semakin represif, setelah pemberontakan PKI 1926 dan 1927 serta pemogokan-pemogokan buruh.

Di dalam kondisi kelumpuhan pergerakan nasional seperti itu muncullah alternatif Kelompok Studi (Studie-studie Club) yang politis dilihat dari orientasi dan tindakan politiknya. Analisa terhadap Studie Club jelas memberikan kesimpulan bahwa kondisi obyektif ekonomi politik pada saat itu politik kolonial yang semakin represif, yang kemudian berubah menjadi liberal karena perubahan status ekonomi Belanda dan Hindia Belanda dapat direspon dan distimulasi oleh kondisi subyektif studie club yang bertransformasi menjadi sebuah partai.

Pada masa penjajahan Jepang organisasi pemuda yang ada dibubarkan dan pemuda dimasukkan ke dalam; Seinen dan Keibodan(Barisan Pelopor) dan PETA (Pembela Tanah Air) untuk dididik politik untuk kepentingan fasisme. Yang menjadi topik menarik pada jaman ini adalah ramainya bermunculan Gerakan Bawah Tanah (GBT) dengan rapat-rapat gelap, dan penyebaran pamflet. GBT ini dikombinasikan dengan gerakan legal Sukarno; merupakan jalan keluar yang logis bagi perlawanan anti fasis. Suatu jalan keluar yang mencekam dan tidak memassa. Tingkat kesadaran massa untuk mengambil jalan keluar ini belum mencapai tingkat yang revolusioner.

Masa 1945-1950 merupakan momentum yang penting dalam gerakan pemuda dan pelajar: selain melucuti senjata Jepang, juga memunculkan organisasi-organisasi seperti: Angkatan Pemuda Indonesia (API), Pemuda Republik Indonesia (PRI), Gerakan Pemuda Republik Indonesia (GERPRI), Ikatan Pelajar Indonesia (IPI), Pemuda Putri Indoensia (PPI) dan banyak lagi. Pada saat belum ada organisasi pemuda dan pelajar, yang berbentuk federasi, diselenggarakan Kongres Pemuda seluruh Indonesia I (1945) dan II (1946). Dan Gerakan Pemudalah yang berhasil mendesak Soekarno-Hatta melalui penculikan untuk segera memproklamirkan Kemerdekaan RI.

Periode Demokrasi Liberal 1950-1959 ternyata tidak memberikan pendidikan politik yang berarti bagi mahasiwa. Pertemuan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) dalam bulan Desember 1955 di Bogor PPMI memutuskan untuk menarik keanggotaannya dari FPI. Dengan demikian jelaslah bahwa keanggotaan PPMI dan FPI yang secara sosiologis dapat memberikan dimensi lingkungan sosial yang lebih luas, dihindari oleh gerakan mahasiswa. Mahasiswa justru melumpuhkan akstivitas politik mereka. Kemudian membius diri dengan slogan-slogan "Kebebasan Akademik" dan "Kembali ke Kampus". Mahasiswa lebih aktiv dalam kegitan rekreatif, perploncoan, dan mencari dana.

Persiapan Pemilu 1955 gerakan mahasiswa kembali mendapat momentumnnya. Pada saat itu berdiri organisasi mahasiswa yang berafiliasi ke partai, seperti Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berafilsi dibawah PNI, Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (GMS/GERMASOS) dengan PSI, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan Masyumi, Concentrasi Gerakan Mahasiawa Indonesia (CGMI) dengan PKI.

Pada tanggal 28 Februari 1957, aktivis-aktivis mahasiswa yang berbasis di UI berprakarsa menggalang senat-senat mahasiswa dari berbagai universitas dan berhasil membentuk federasi mahasiswa yang bernama Majelis Mahasiswa Idonesia (MMI). Sementara itu peran militer dalam negara terus mengalami perluasan sejak akhir 1950-an.

Depolitisasi gerakan pemuda dan mahasiswa bermula dari penandatanga‑nan kerja sama antara pemuda dan Angkatan Darat 17 Juni 1957. Eskponen gerakan sosialis dan HMI diikut sertakan dalam aktivitas-ak‑stivitas di luar kampus. Sejak awal 1959 mereka telah mengukuhkan hubungan dengan administratur-administratur militer yang berkaitan dengan urusan pemuda dan mahasiswa. Jadi bukan hal yang aneh bila pada tahun 1966 mahasiswa-mahasiswa Bandung adalah yang paling militan berdemonstrasi mengulingkan Soekarno. Sementara itu Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) dibubarkan dengan tuduhan terlibat usaha pembunuhan atas Soekarno.

GMNI, CGMI dan GERMINDO kemudian membentuk Biro Aksi Mahasiwa dan menyelengarakan Kongres kelima PPMI di Jakarta Juli 1961. Pada saat yang sama GERMASOS dan HMI berhasil masuk ke dalam organisasi-organisasi lokal di Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya. Dalam tahun 1961, organisasi-organisasi lokal tersebut membentuk Sekretariat Organisasi Mahasiswa Lokal (SOMAL). Dalam banyak kesempatan SOMAL selalu menegur PPMI agar jangan terlalu terlibat dalam isu politik. Orang akan dapat membaca dalam pernyataan-pernyataan SOMAL, ada semacam hubungan antara aspirasi SOMAL dengan aspirasi senat-senat mahasiswa yang tergabung dengan MMI.

Sehubungan dengan insiden rasial di Bandung, Mei 1963, konsulat PPMI Bandung mengeluarkan pernyataan: Bahwa yang sebenarnya terjadi bukanlah bermotifkan rasial, akan tetapi merupakan isu sosial yang diakibatkan gap antara si kaya dan si miskin yang semakin dalam. Keadaan ini dimanfaatkan oleh MMI, mereka bergabung dengan organisasi pecahan PPMI Bandung dan medirikan Majelis Permusywaratan Mahasiswa Indonesia (Mapemi) pada bulan Agustus 1965. Haruslah dicatat dalam eksekutif MMI terdapat perwakilan dari Akademi Hukum Militer (AHM) dan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), sehingga tidak mengherankan bila kepemimpinannya dipegang oleh perwira tingkat menengah AD dan kepolisian.

Dalam masa ini orientasi gerakan mahasiswa yang sudah mulai membaik dalam mengugat hubungan sosial kapitalisme, fasisme, imperialisme, dan sisa-sisa feodalisme dikalahkah oleh kesiapan militer (yang masuk dalam gerakan pemuda mahasiswa dan partai-partai sayap kanan). Jadi Gerakan Mahasiswa periode 66 dapat dikatakan Gerakan Mahasiswa yang tidak sepenuhnya berpihak pada rakyat. Sebelum tahun 1970-an aktivis yang mula-mula sadar akan kekeliruan ini adalah Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib (HMI).

Namun seperti juga generasi baru aktivis-aktivis mahasiswa dan pemuda tahun 70-an lainnya yang mulai menyadari kekeliruan strategi mereka kembali membuat kesalahan strategi lainnya: terpisah dari potensi kekuatan rakyat, atau tanpa basis kekuatan massa yang luas, demostrasi TMII; anti-korupsi; Golput; Malari; dan gerakan '78 dengan Buku Putihnya merupakan contoh-contoh keterasingan dan frustasi. Jadi pada periode 74-78 dapat dikatakan Gerakan Mahasiswa mengalami kegagalan karena gerakan tersebut kurang berinteraksi dengan massa rakyat.

Pada tahun 1980-an, tawaran LSM, literatur populis dan ada juga sedikit yang struktural terutama yang di Barat, serta belajar keluar negeri merupakan suatu kondisi objektif yang ditawarkan oleh kapitalisme yang sedang berada pada titik kontradiski ekonomi, politik, dan budayanya produktivitas yang rendah (terutama produk yang mempunyai watak nasionalistis), kemiskinan, gap antara kaya dan miskin, pengangguran, konsumerisme, kesenjangan harga dan pendapatan, krisis kepemimpinan, rendahnya kuantitas dan kualitas pendidikan politik, kosongnya dunia pendidikan, keilmuan dan budaya yang nasionalistis dan pro-rakyat, perusakan lingkungan, dekadensi moral, dan sebagainya, yang belum pernah terjadi sedemikian membahayakan dalam sejarah bangsa Indonesia.

Kondisi popularitas LSM, gelar-gelar akademis, teori-teori dan kesimpu‑lan-kesimpulan ilmu-ilmu sosial (tentang masyarakat Indonesia) yang dipasok dari luar negeri (terutama dari Barat) menyuburkan budaya diskusi, penelitian masyarakat dan aksi-aksi sosial kedermawanan dan peningkatan pendapatan. BRAVO! buat menjamurnya kelompok studi (1983) dan LSM, yang direspon mahasis­wa-mahasiswa moderat. Mereka yang tadinya berkeras menolak jalan aksi-aksi pengalangan massa, dalam waktu relatif cepat berbalik beramai-ramai ikut mendukung apa yang disebut sebagai gerakan "arus bawah". Yang lebih parah lagi adalah LSM, yang walaupun tidak pernah memberikan picu bagi tindakan politik, proses pembusukkannya lebih lamban ketimbang kelompok studi. Sokongan keuangan yang besar, yang terus-menerus mendemoralisasi aktivis-aktivis sosial (bahkan mahasiswa) yang diserap kedalamnya, menyebabkan LSM bertahan dalam wataknya semula.

Tahun 1985 dan seterusnya kebekuan respon masyarakat terhadap kondisi objektif ekonomi, politik, dan budaya yang sangat negatif, berhasil oleh gerakan-gerakan mahasiswa, yang para pelakuknya banyak berasal dari kelas menengah ke bawah dan masih sektarian bila dibandingkan dengan Filipina dan Korea Selatan. Bila dilihat konsolidasi dan isunya, gerakan mahasiswa periode ini relatif lebih merakyat, berhasil dalam membentuk opini dan lebih kuat dalam bargain politiknya.

Aksi mahasiswa Ujung Pandang (1987) adalah aksi yang baru pertama kalinya dengan turun ke jalan (rally), dengan jumlah massa yang relatif besar, dengan mengambil isu kebijaksanaan pemerintah dalam peraturan lalu lintas, judi, dan ekspresi kesulitan ekonomi. Aksi ini dihentikan dengan memakan beberapa korban. Tradisi turun ke jalan ini telah menjadi trend pada saat ini, Pengerahan massa yang relatif besar pada saat ini belum konsisten pada tujuan politiknya. .

Celah-celah kegiatan pers dan tersebarnya mass media kampus, kegiatan-kegiatan diskusi, aksi-aksi yang dipikirkan masak-masak, benar-benar memberikan pengalaman yang berharga, baik dari segi pematangan, pemahaman, penyatuan pikiran maupun rekonsolidasi bagi proses selanjutnya gerakan mahasiswa tahun 80-an.

Kontinum gerakan mahasiswa tahun 80-an tampaknya kini lebih menggembirakan. Hingga sekarang mereka bisa merebut opini nasional dan internasional, isunya lebih merakyat, bargain politiknya lebih kuat, dapat menarik simpati rakyat serta tingkat kolaborasi dengan unsur-unsur administrator militer, birokrat, partai, ex-partai, ormas, LSM, kelompok studi, maupun lainnya boleh dikatakan sangat rendah. Namun kontinum tersebut belumlah sampai pada tingkat seperti yang dijelaskan sebelumnya.

Tahun 1990, pada periode ini Gerakan Mahasiswa kembali mencoba membangun gerakan massa dengan hidupnya kembali aktivitas kampus. Gerakan Mahasiswa turun mengadvokasi kasus-kasus kerakyatan. Tahun 1992 terbentuk Solidaritas Mahasiswa Inndonesia untuk Demokrasi (SMID). Dan kader-kader banyak yang turun kesektor-sektor rakyat, seperti buruh, petani. Kader-kader SMID juga aktif mengadvokasi kasus-kasus kerakyatan, seperti kasus tanah Kedung Ombo, kasus buruh di Surabaya dan Jabotabek. Sampai-sampai kader-kader SMID banyak yang diculik dan dibunuh oleh Rejim diktator Orba. Puncaknya adalah Tragedi 27 Juli 1996 yang sempat membuat perlawanan Gerakan Mahasiswa kembali tiarap. Dan kembali melakukan gerakan bawah tanah. Tapi akibat dari tragedi 27 Juli perlawanan rakyat terhadap rejim penindas orba semakin besar, sentimen anti Soeharto sangat tinggi.

Gerakan Mahasiswa Tahun 1998

Gerakan Mahasiswa 98 munculnya bersifat momentum. Di akhir tahun 1997 Indonesia mengalami resesi ekonomi sebagai nakibat dari kewajiban untuk membayar hutang luar negeri yang sudah mengalami jatuh tempo. Dampak dari krisis ekonomi di Indonesia yang berkepanjangan ini adalah naiknya harga-harga sembako. Bulan-bulan berikutnya ditahun 1998 adalah malapetaka bagi rejim Orba. Tidak seperti yang banyak dibayangkan oleh pakar-pakar politik, perlawanan massa berkembang sedemikian cepat dan masif di hampir seluruh kota-kota besar di Indonesia. Posko-posko perlawanan sebagai simbol perlawanan terhadap rejim muncul diberbagai kampus dan dalam kesehariannya posko ini sangat disibukkan oleh kegiatan-kegiatan yang politis sifatnya seperti rapat-rapat koordinasi, pemutaran film-filim politik, dll. Tak nampak lagi kultur mahasiswa yang sebelumnya apatis, hedon, cuek, dll. Hampir di setiap sudut kita dapat menemukan mahasiswa yang berbicara tentang politik, benar-benar sesuatu yang baru!

Intensitas gerakan ini tidak dapat dilepaskan dari kondisi obyektif yang semakin tak menentu seperti krisis yang tak kunjung usai, tingkat represi yang semakin meningkat mulai dari penculikan aktivis sampai pada pemukulan dan penembakan mahasiswa yang mencoba turun ke jalan. Puncak dari tindakan represi ini adalah dengan ditembaknya 4 mahasiswa Univ. Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998. Penembakan ini memicu kemarahan massa rakyat, yang representasinya dilakukan dalam bentuk pengrusakan, penjarahan ataupun pemerkosaan di beberapa tempat di Indonesia. Praktis dalam 2 hari pasca penembakan, Jakarta berada dalam kondisi yanag tidak terkontrol. Mahasiswa kemudian secara serempak menduduki simbol-simbol pemerintahan lembaga legislatif beberapa hari kemudian (18 Mei), yang dilakukan hingga Soeharto mundur.

Bentuk-bentuk perlawanan Organisasi mahasiswa pada saat itu adalah membentuk komite-komite aksi ditingkatan kampus dan juga mengajak elemen massa rakyat untuk menuntaskan Rejim Orba. Propaganda-propaganda yang dibangun pada awalnya mengangkat isu-isu ekonomis tentang turunkan harga sembako. Dan meningkat menjadi isu politis yaitu turunkan Soeharto dan cabut Dwifungsi ABRI (untuk isu ini hanya di beberapa kota yang tergolong lebih relatif radikal). Slogan aksi pada saat itu adalah Reformasi. Tapi pada saat itu terjadi perdebatan-perdebatan dikalangan Gerakan Mahasiswa. Perdebatan itu adalah apakah Gerakan Mahasiswa ini Gerakan Moral atau Gerakan Politik.

Tanggal 21 Mei 1998 Gerakan Mahasiswa yang di dukung oleh rakyat mampu melengserkan Soeharto. Tetapi setelah itu GM seperti kehilangan arah dan merasa puas. Padahal yang justru menjadi problema rakyat Indonesia pada saat itu belum tersentuh. Di tingkat Gerakan Mahasiswa yang terjadi justru polarisasi dalam gerakan dan bukannya tuntasnya agenda-agenda Reformasi atau Revolusi Demokratik.

Membangun Kembali Gerakan Mahasiswa

Setelah Soeharto dilengserkan yang naik menggantikannya ialah Habibie yang notabene anak didik Soeharto. Dan masa pemerintahan Habibie ini jelas hanya pucuk pimpinan saja yang berubah, tetapi sistim ynag dipakai tetap mempertahankan sistim pemerintahan Orde Baru, Karena Habibie juga bagian dari produk Orba. Sehingga pada tanggal 13 November 1998 pecah peristiwa Semanggi I. Dimana terjadi pembantaian yang dilakukan aparat keamanan terhadap mahasiswa dan massa rakyat yang menolak di adakannya Sidang Istimewa MPR. Banyak jatuh korban dari pihak mahasiswa dan massa rakyat, sampai jatuh korban jiwa karena tindakan kekerasan yang diakibatkan pemukulan dan penembakan yang dilakukan Pasukan PHH pada saat itu.

Untuk membangun kembali Gerakan mahasiswa yang teridiolgis dan jelas keberpihakannya terhadap kelas kaum pekerja diupayakan oleh beberapa kawan mahasiswa pelopor. Beberapa organisasi mahasiswa dari Jakarta, Bandung, Surabaya, Jogja, Semarang, Solo dan Purwokerto membentuk organisasi tingkat Nasional yang diberi nama FONDASI (Front Nasional Untuk Demokrasi) pada tanggal 5 Februari 1999 di Bandung. FONDASI kemudian melibatkan diri melalui anggota-anggotanya pada tanggal 28 Februari - 5 Maret 1999 diadakan RMNI I di Bali yang dihadiri oleh 53 organisasi dari seluruh Indonesia. Hasilnya adalah aksi serentak tanggal 13 April di kota-kota besar Indonesia. Lalu dilanjutkan pada pertemuan RMNI II di Surabaya yang mengalami jumlah penurunan peserta menjadi 32 organisasi. Namun RMNI I &II tersebut tidak menghasilkan kepemimpinan nasional gerakan mahasiswa. Perdebatan yang terjadi di RMNI I dan II adalah mengenai pemerintahan transisi dan cabut dwifungsi ABRI, dan terutama tentang pengambilan momentum pemilu 7 Juni 1999. Apakah momentum Pemilu 7 Juni ini di ambil atau tidak. Ada ketakutan jika mengangkat isu boikot pemilu, massa rakyat pendukung fanatik partai-partai politik akan memukul gerakan mahasiswa. Namun kenyataannya, hal tersebut tidak terjadi.

Akhirnya Fondasi ditambah kelompok-kelompok mahasiswa yang memiliki kesamaan isu yaitu cabut dwifungsi ABRI, Pemerintahan Transisi, dan kesamaan taktik menghadapi Pemilu membentuk LIGA MAHASISWA NASIONAL Untuk DEMOKRASI (LMND) dalam Kongres Mahasiswa Nasional Pertama di Bogor tanggal 9-13 Juli 1999.

Pasca Pemilu Rejim Habibie ingin mensahkan RUU PKB yang dibuat oleh DPR. Dan kebijakan ini pun ditolak oleh mahasiswa dan massa rakyat dengan melakukan pelawanan hingga meletuslah peristiwa Semanggi II, Peristiwa ini kembali menimbulkan jatuh korban dipihak mahasiswa dan massa rakyat. Dan akhirnya Rejim Habibie menunda UU Drakula tersebut.

Tanggal 20 Oktober GusDur naik menjadi Presiden dan Megawati menjadi wakilnya. Dan Gerakan Mahasiswa menghadapi Rejim yang jelas berbeda dengan Rejim sebelumnya. Ruang-ruang demokrasi memang sedikit terbuka dimasa pemerintahan Abdurahman Wahid ini, tapi disatu sisi masih banyak terdapat tindakan kekerasan yang dilakukan aparat keamanan terhadap para demonstran. Rejim GusDur-Mega pun terbukti ternyata tidak berpihak pada rakyat karena kebijakan-kebijakan neoliberalnya. Dan yang membuat kecewa lagi Rejim ini pun ikut mendukung dan mencoba menggolkan kembali RUU PKB yang jelas-jelas sudah memakan korban jiwa tersebut. Ini dikarenakan Rejim GusDur-Mega terlalu banyak kompromi dan tidak berani bertindak tegas terhadap sisa-sisa kekuatan lama yaitu sisa Orba dan militer.

Namun disatu sisi ternyata rejim GusDur yang masih bersifat setengah hati dalam menegakkan demokratisasi di Indonesia, mencoba untuk menarik simpati massa dengan menyingkirkan elit-elit politik gadungan dan militer yang pada saat Pemilu telah mendukungnya. Tentu saja hal ini berakibat pada munculnya konflik diinternal kabinet rejim GusDur. Elit-elit politik gadungan yang disingkirkan oleh GusDur-pun menggunakan berbagai macam cara baik itu intra maupun ekstra parlementer dalam rangka mendelegitimasi rejim GusDur. Gerakan mahasiswa yang ada pada saat itupun tidak luput dari intervensi kepentingan para elit politik gadungan tersebut. Akibatnya terjadi polarisasi antara gerakan yang pro GusDur dengan gerakan yang anti terhadap GusDur, sebagian besar dari mahasiswa yang terjebak dalam polemik ini adalah kalangan Badan Eksekutif Mahasiswa [BEM]. Diantaranya yang cukup dominan dalam melakukan aksi-aksi massa adalah Badan Eksekutif Mahasiswa se-Indonesia atau biasa disingkat BEM-sI yang melakukan penolakan terhadap GusDur lewat isu seperti Buloggate dan mengusulkan segera dilakukannya Sidang Istimewa MPR/DPR. Golongan Kedua adalah yang menamakan diri mereka Badan Eksekutif Mahasiswa Indonesia [BEMI] dengan aksi-aksi pendukungan GusDur mereka. Saat inilah mahasiswa mengalami ketidakfokusan isu.

Namun demikian ada golongan diluar itu yang melihat bahwa ada usaha permainan politik oleh sisa-sisa Orde Baru yang manifes dalam partai Golkar serta Militer dibalik ini semua. Analisa ini datang dari golongan gerakan ekstra parlementer seperti LMND, FORKOT, FAMRED, PMII serta beberapa organ sektoral lainnya seperti dari buruh ada FNPBI yang cukup dominan serta dari partai politik PRD, PKB dan komunitas NU-nya. Golongan yang terakhir ini mencoba untuk melakukan aksi-aksi propaganda bahwa permasalahan sebenarnya bukanlah pro-kontra GusDur melainkan adanya bahaya kekuatan ORBA yang mulai bangkit kembali. Isu yang dibawa adalah seperti Bubarkan Golkar, Bubarkan Parlemen. Namun lewat upaya-upaya licik dari elit politik gadungan –GusDur termasuk didalamnya- maka permasalahan yang lebih esensial ini menjadi kabur dan berakhir dengan kejatuhan GusDur.

Lewat mekanisme undang-undang politik yang ada dipilihlah Wakil Presiden pada saat itu, Megawati untuk menggantikan GusDur. Rejim yang baru ini segera melakukan reshuffle kabinet dalam rangka melakukan power sharing dengan elit-elit politik gadungan seperti PAN, PPP, PBB, GOLKAR, serta militer. Format baru ini telah membentuk sebuah rejim baru Mega-Hamzah –sebagai wakilnya- yang ternyata masih juga melanjutkan kebijakan GusDur yang tidak berpihak pada massa rakyat.

Gerakan Mahasiswa Kini

Sudah menjadi watak alami dari borjuasi di Indonesia yang pengecut dan selalu menghambakan diri kepada kekuatan modal asing. Hal ini tercermin lewat kebijakan Mega-Hamzah yang sejak awal menitikberatkan pada pembangunan situasi yang kondusif di dalam negeri untuk menarik investor asing masuk ke Indonesia. Solusi kebijakan ini ternyata pada perkembangannya hanya menambah hutang-hutang baru yang dilimpahkan ke rakyat dan yang terjadi malah krisis berkepanjangan. Salah satu kebijakan dari rejim Mega-Hamzah yang dinilai tidak berpihak pada kepentingan rakyat adalah pencabutan subsidi sehingga menibulkan efek domino yang memicu tingkat kenaikan harga bahan pokok. Selain itu di sektor industri terjadi “pengefesiensian” akibat melambungnya harga BBM, konsekuensinya terjadi rasionalisasi besar-besaran terhadap buruh pabrik. Akibat dari itu adalah meningkatnya jumlah pengangguran dimana-mana hingga nominal 37 Juta. Belum lagi kebijakan fiskal ekspor dan impor yang memicu tingkat inflasi dan menurunnya pertumbuhan ekonomi hingga 3%. Kebijakan Mega-Hamzah yang paling fatal adalah memberikan konsesi yang begitu besar terhadap pihak militer dengan memberikan kedudukan sentral terhadap para pejabat militer yang bertanggungjawab pada kasus-kasus pelanggaran HAM dan demokrasi. Hal inilah yang menjawab mengapa terjadi represifitas yang begitu besar terhadap gerakan saat ini oleh aparat.

Melihat hal ini justru gerakan mahasiswa mengalami kemunduran dan menjadi terpisah dengan basis massa rakyat lainnya. Gerakan mahasiswa malah sibuk dengan isu-isu yang elitis dan cenderung tidak fokus. Hanya beberapa saja dari organ gerakan ekstra kampus yang masih mampu mengkonsolidasikan diri dan terus menerus secara konsisten melakukan tuntutan terhadap rejim. Namun yang terjadi sekali lagi adalah pengulangan sejarah, rejim Mega-Hamzah yang awalnya diharapkan mampu bertindak lebih demokratis dan populis ternyata malah mempraktekkan kebijakan yang sama dengan jaman Orde Baru berkuasa. Terjadi pemberangusan terhadap nilai-nilai demokrasi di gerakan lewat penangkapan aktivis-aktivis demokrasi, terjadi pengilusian terhadap gerakan mahasiswa oleh rejim dengan mengkampanyekan gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral semata. Artinya gerakan mahasiswa cukup mengkritisi saja problema yang ada bukannya menjadi kelas transisional terhadap kelas yang lain untuk memberikan transformasi kesadaran ke hal yang lebih progresif dan menjelaskan kepada massa akan perlunya rakyat mengambil alih pemerintahan sebagaimana selalu dikampanyekan oleh organ-organ pro demokrasi –termasuk LMND.

Gerakan mahasiswa menjadi gagap dalam merespon keadaan krisis ini berbeda dengan sektor massa yang lain; Buruh, Tani, Kaum Miskin Kota yang tanpa dukungan dari mahasiswa-pun ternyata mampu melakukan aksi dalam skala besar. Disinilah peran pelopor gerakan mahasiswa untuk menyatukan kekuatan-kekuatan tersebut menjadi hal yang urgen.

Rakyat yang sedang resah membutuhkan sebuah kepeloporan dalam hal kesadaran disini. Memajukan kesadaran ekonomis massa hingga menuju tataran politis adalah konkretisasi kepeloporan yang dimaksud.