Pages

Jumat, 30 Juli 2010

Pokok-Pokok Pemikiran Pendidikan Alm. Muhammad Natsir dalam Memajukan Pendidikan Bangsa dan Negara

Islam adalah agama yang mengajarkan pandangan hidup (way of life) bagi seluruh umat manusia. Islam menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat, jasmani dan rohani, material dan spiritual, serta kesalihan pribadi dan kesalihan sosial.

Islam melihat manusia sebagai makhluk yang dimuliakan Allah SWT dimuka bumi dan harus melakukan perannya sebagai khalifah dan hamba Allah SWT melalui karya-karya yang bermanfaat bagi kehidupan seluruh umat manusia. Untuk mampu melakukan perannya secara baik, akal pikiran jiwa raga, dan berbagai potensi lainnya harus dibina secara berkesinambungan.

Sarana yang paling efektif untuk melakukan pembinaan manusia yang demikian itu adalah pendidikan yang diajarkan oleh Islam. Pendidikan Islam telah mampu menjadikan rahmatan lil a’alamin pada masa dahulu selama berabad-abad di dunia.

Almarhum Muhammad Natsir (selanjutnya ditulis M. Natsir) adalah tokoh yang menggagas pembaruan pendidikan Islam yang berbasiskan Al Quran dan As Sunnah.

M. Natsir lahir di Jembatan Berukir. Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, pada hari Jumat, 17 Jumadil Akhir 1326 H bertepatan dengan 17 Juli 1908 M. Ibunya bernama Khadijah. Ayahnya bernama Mohammad Idris Sutan Saripado. Di desa kelahirannya itu, Natsir kecil melewati masa-masa sosialisasi keagamaan dan intelektualnya.

Riwayat Pendidikan

Riwayat pendidikan M. Natsir dimulai dari Sekolah Rakyat (SR) di Maninjau Sumatera Barat hingga kelas dua. Setelah itu pindah ke Holland Inlandse School (HIS) Adabiyah Padang Panjang. Natsir melewati masa kehidupannya dengan penuh perjuangan berat. Sejak kecil ia memasak, mencari kayu bakar, menimba air, mencuci pakaian, menyapu halamanb, dan lain-lain. Di usia sangat muda, Natsir berpisah dengan orang tuanya dan menempuh hidup sebagai orang dewasa, Mulailah ia tidur di surau bersama-sama kawan-kawannya sesama laki-laki. Hanya pada waktu siang dan saat tertentu saja, Natsir berada di rumah.

Setelah lulus dari HIS, Natsir diterima beasiswa di MULO (Meer Uitgebreid Lager Orderwijs). Di MULO tersebut ia mulai aktif berorganisasi dengan masuk dalam Jong Sumatranen Bond yang diketuai Sanusi Pane. Selanjutnya bergabung dalam Jong Islamieten Bond. Menurut Natsir, organisasi merupakan pelengkap selain yang didapatkannya di sekolah dan memiliki andil yang cukup besar dalam kehidupan bangsa. Dari kegiatan berbagai organisasi inilah mulai tumbuh bibit sebagai pemimpin bangsa pada Muhammad Natsir.

Selanjutnya, tahun-tahun penting yang dijalani oleh M. Natsir yang membuatnya terkenal karena sepak terjang pemikiran dan tindakannya.

1887-1958: berinteraksi dengan A. Hasan, seorang pemikir radikal dan pendiri Persatuan Islam (persis) yang mempengaruhi alam pikirannya

1927: Aktif dalam bidang pendidikan secara meluas melalui pelibatan

langsung dalam kegiatan studi yang dilaksanakan oleh Persis di

Bandung di bawah pimpinan A. Hasan

1938: Mulai melibatkan diri dan aktif di bidang politik sebagai anggota

Persatuan Islam Indonesia (PII) cabang Bandung

1940-1942: Natsir menjabat Ketua PII

1942-1945: Merangkap jabatan sebagai Kepala Biro Pendidikan Kotamadya

Bandung dan sebagai Sekretaris Sekolah Tinggi Islam (STI) di

Jakarta yang merupakan Perguruan TInggi Islam pertama pasca

kemerdekaan

1945-1946: Anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNPI), Menteri

Penerangan RI pada Kabinet Syahrier 1 dan 2 serta kabinat Hatta ke-1

1949-1958 : sebagai Ketua Masyumi hingga partai ini dibubarkan

1950-1951: Perdana Menteri RI

1955: Pemilu 1 Natsir terpilih sebagai anggota DPR

1956-1957: Natsir diangkat sebagai anggota Konstituante RI

Hasrat, cita-cita dan keinginan yang kuat dari M. Natsir untuk menjadikan Islam

sebagai dasar negara dan pemahamnnya t\yang berbeda tentang Islam dengan

Soekarno menyebabkan timbulnya konflik di antara keduanya ingá ia termasuk dalam

oposisi pemerintah dan bergabung dengan Pemerintah Revolusioner Republik

Indonesia (PRRI) di Sumatra. Keterlibatannya ini mengakhiri karier politiknya di

zaman orde lama.

Di masa Orde Baru, Natsir tetap tersingkir dari pemerintahan bukan karenakeraguan orang terhadap kredibilitas dan kemampuannya sebagai seorang birokrat dan negarawan, melainkan karena perbedaan ideology. Pemerintah orba, tetap tidak mengabulkan rehabilitasi dam hidupnya kembali Masyumi yang dibubarkan oleh Soekarno.

Dalam keadaan yang demikian, M. Natsir meneruskan perjuangannya dengan menggunakan media dakwah melalui Yayasan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang didirikannya bersama mantan aktivis masyumi lainnya.

Kepiawaian, kredibilitas, dan kemampuan Natsir dalam bidang kenegaraan, keislaman, dan perjuangan tidak hanya diakui oleh kalangan nasional, bahkan internasional. Kiprah M. Natsir secara internasional sebagai berikut.

1956 : memimpin Sidang Muktamar Alam Islamy di Damaskus, Wakil

Presiden Kongres Islam Se-Dunia yang berpusat di Pakistan dan

Muktamar Alam Al Islami yang berpusat di Arab Saudi

1957 : menerima penghargaan internasional berupa bintang Nicham Istikhar

(Grand Gordon) dari Presiden Tunisia, Lamine Bay, atas jasa-jasanya

dalam membantu perjuangan kemerdekaan rakyat Afrika Utara

1980 : Februari 1980 memperoleh penghargaan internasional Jaizatul malik

Faisal al Alamiyah dari Lembaga Hadiah Internasional Malik Faisal

Arab Saudi

Dalam dunia akademik, Natsir memperoleh doctor honoris causa dari Universitas Islam Libanon tahun 1967 di bidang sastra. Gelar yang sama diperoleh juga tahun 1991 dari Universitas Kebangsaan Malaysia dan Universitas Saint Teknologi Malaysia dalam bidang pemikiran Islam.

Natsir juga termasuk tokoh intelektual muslim yang produktif. Menurut Yusuf Abdullah Puar, Natsir, telah menulis lebih dari 52 judul buku yang ditulis sejak tahun 1930. Diantaranya :

1. Islam sebagai Ideologi ( Jakarta : Pustaka Aida, 1951)
2. Agama dan Negara, Falsafah Perjuangan Islam ( Medan, 1951)
3. Kapita Selekta 1 (Jakarta : Bulan Bintang, 1954)
4. Islam sebagai Dasar Negara (Bandung, 1954)
5. Some Observation, Concerning the Rule of Islam in National and International Affair ( Ithaca : Departemen of Eastern Studies, Cornel University, 1954)
6. Fiqh Da’wah ( Solo: CV Ramadhan, 1965)

Dari beberapa buku tersebut, nampak jelas bahwa Natsir memiliki perhatian terhadap perlunya pelaksanaan ajaran Islam dalam lehidupan berbangsa dan bernegara, juga perlunya peningkatan dan pengembangan pendidikan umat. Bagaimana pokok-pokok pemikiran Natsir dalam bidang pendidikan secara lebih mendalam?

Natsir wafat pada 6 Februari 1993 bertepatan dengan 14 Sya’ban 1413 H di RSCM dalam usia 85 tahun. PM Jepang saat itu, mengatakan bahwa : Berita wafatnya Pak Mohammad Natsir terasa lebih dahsyat dari jatuhnya bom atom di Hiroshima.

Pokok-Pokok Pemikiran Pendidikan M. Natsir

Dalam buku Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Abuddin Nata, menjelaskan tentang gagasan dan pemikiran pendidiksan Natsir ( 2005 : 81-94) yang secara ringkas sebagai berikut.

Pertama, tentang peran dan fungsi pendidikan. Dalam hubungan ini paling kurang terdapat enam rumusan yang dimajukan Natsir. Pertama, pendidikan harus berperan sebagai sarana untuk memimpin dan membimbing agar manusia yang dikenakan sasaran pendidikan tersebut dapat mencapai pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani secara sempurna, Kedua, pendidikan harus diarahkan untuk menjadikan anak didik memiliki sifat – sifat kemanusiaan dengan mencapai akhlak al – karimah yang sempurna. Ketiga, pendidikan harus berperan sebagai sarana untuk menghasilkan menusia yang jujur dan benar ( bukan pribadi yang hipokrit ). Keempat, pendidikan agar berperan membawa manusia agar dapat mencapati tujuan hidupnya, yaitu menjadi hamba Allah Swt. Kelima, pendidikan harus dapat menjadikan manusia yang dalam segala perilaku atau interaksi vertical maupun horizontalnya selalu menjadi rahmat bagi seluruh alam, keenam, pendidikan harus benar – benar mendorong sifat – sifat kesempurnaannya dan bukan sebaliknya, yaitu menghilangkan dan menyesatkan sifat – sifat kemanusiaan.

Kekuasaan mutlak yang harus ditaati. Ketaatan kepada Allah yang mutlak itu mengandung makna menyerahkan diri secar total kepada Allah. Menjadikan manusia menghambakan diri hanya kepada – Nya.

Kedua, tentang tujuan pendidikan Islam. Menurut Natsir, tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah merealisasikan idealitas Islam yang pada intinya menghasilkan manusia yang berperilaku islami, yakni beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan naisonal yang terpatri dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menempatkan beriman dan bertaqwa kepada Allah Yang Maha Esa sebagai tujuan sentral.

Menurut M. Natsir, seorang hamba Allah adalah orang yang ditinggikan derajatnya oleh Allah, sebagai pemimpin manusia. Mereka menjalankan perintah Allah SWT dan berbuat baik kepada sesama manusia, menunaikan ibadah terhadap Tuhannya sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 177 yang artinya. Bukanlah kebaikan itu dengan menghadapkan muka ke arah barat dan timur, tetapi kebaikan itu adalah mereka yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat, kitab, dan nabi – nabi – Nya serta memberikan harta yang disayanginya kepada karib – karibnya, anak yatim, orang yang terlantar, orang yang terputusa uang belanjanya dalam perjalanan serta untuk memerdekakan manusia dari perbudakan. Ia mendirikan shalat, membayar zakat, teguh memegang janji apabila ia berjanji, bersifat sabar dan tenagn di waktu bahaya dan bencana.

Berdasarkan ayat tersebut di atas, seorang hamba Allah adalah mereka yang memiliki enam sifat sebagai berikut. Pertama, memiliki komitmen iman dan tauhid yang kokoh kepada Allah serta terpantul dalam perilakunya sehari - hari. Kedua, memiliki kepedulian dan kepekaan sosial dengan cara memberikan bantuan dan santunan serta mengatasi kesulitan dan penderitaan orang lain. Ketiga, senantiasa melakukan hubungan vertikal dengan Tuhan dengan menjalankan ibadah shalat secara kontinu. Keempat, senantiasa melakukan hubungan horizontal dengan sesame manusia dengan cara memberikan sebagain harta yang dimiliki kepada orang lain. Kelima, memiliki akhlak yang mulia yang ditandai dengan kepatuhan dalam menunaikan janji yang telah diucapkannya, Keenam, memiliki jiwa yang tabah dalam menghadapi situasi dan kondisi yang kurang menyenangkan, bahkan menakutkan.

Ketiga, tentang dasar pendidikan. Dalam tulisannya yang berjudul Tauhid sebagai Dasar Didikan, M. Natsir menceritakan tentang pentingnya tauhid dengan mengambil contoh pada seorang professor fisika bernama Paul Ehrenfest yang mati bunuh diri. Ia berasal dari keluarga baik – baik dan telah memperoleh pendidikan Barat tingkat tinggi. Telah banyak penemuan – penemuan rahasia alam yang dihasilkannya dan telah menjadi bahan rujukan dalam dunia ilmu pengetahuan. Pekerjaannya sehari – hari tak pernah tercela. Demikian pula pergaulannya selalu dengan orang yang baik – baiknya, bahkan ia sendiri termasuk orang yang ramah.

Keempat, tentang ideologi dan pendekatan dalam pendidikan. Natsir mengajukan konsep pendidikan yang khas ditengah persoalan dikotomis antara pendidikan umum dan pendidikan agama. Konsep pendidikannya adalah integral, harmonis, dan universal. Dalam pidato yang ia sampaikan pada rapat Persatuan Islam di Bogor, 17 Juni 1934 dengan judul ” Ideologi Didikan Islam” serta dalam tulisannya di Pedoman Masyarakat pada 1937 dengan judul ”Tauhid sebagai dasar Pendidikan”, dengan gamblang menggariskan ideologi pendidikan umat Islam dengan bertitik tolak dari dan berorientasi kepada tauhid sebagaimana tersimpul dalam kalimat syahadat.

Melalui dasar tersebut akan tercipta integrasi pendidikan agama dan umum. Konsep pendidikan yang integral, universal, dan harmonis menurut Natsir, tidak mengenal dikotomi antara pendidikan agama dan pendidikan umum, melainkan antara keduanya memiliki keterpaduan dan keseimbangan. Semua itu dasarnya agama, apa pun bidang dan disiplin ilmu yang ditekuninya. Sepertinya kelahiran Sekolah Islam Terpadu saat ini melalui himpunan keanggotaan Jaringan Sekolah Islam Terpadu Indonesia memiliki nafas yang sama dengan pandangan Natsir ini.

Kelima, tentang fungsi bahasa asing. Menurut Natsir bahwa bahasa asing amat besar perannya dalam mendukung kemajuan dan kecerdasan bangsa. Dalam kaitan ini, Natsir selalu ingat pada ucapan Dr.G. Drewes yang mengatakan bahwa hanya dengan mengetahui salah satu bahasa Eropa, yang terutama sekali bahasa Belanda, masyarakat bumi putra dapat mencapai kemajuan dan kemerdekaan pikiran.

Lebih lanjut Dr. Drewes sebagaimana dikutip oleh Natsir mengatakan bahwa sebagai dasar bagi kecerdasan salah satu bangsa adalah bahasa ibunya sendiri. Bahasa earta kaitannya dnegan corak berpikir suatu bangsa. Bahasa dari salah satu bangsa adalah tulang punggung dari kebudayaannya. Mempertahankan bahasa sendiri berarti mempertahankan sifat – sifat dan kebudayaannya sendiri. Kultur suatu bangsa berdiri atau jatuh bergantung pada bahasa dari bangsa itu sendiri. Sejalan itu, maka bahasa merupakan salah satu faktor terpenting yang mendorong mutu dan kecerdasan suatu bangsa. Bahasa ibu, bahasa kita sendiri. Adalah menjadi syarat bagi tegaknya kebudayaan kita.

Demikianlah antara lain pandangan Natsir terhadap bahasa asing khususnya bahasa Belanda dan Bahasa Arab. Untuk itu, kepada para siswa harus diberikan kemampuan berbahasa asing dan dengan melakukan langkah – langkah antara lain .

1. Perlu adanya upaya membasmi semangat anti-Arab atau anti-Islam yang diciptakan oleh kolonial linguistik dan penguasa pribuminya yang taat dan setia.
2. Status linguistik yang bebas dari bahasa Arab harus diakui dan bahasa Arab harus diperlakukan tidak lagi sebagai karya teologis.
3. Negara – Negara Islam yang bahasa ibunya bukan bahasa Arab, harus menerima bahasa Arab sebagai bahasa kedua setelah bahasa Nasional ibunya.

Keenam, tentang keteladanan guru. Menurut DR.G.J. Nieuwenhuis sebagaimana dikutip oleh Natsir, suatu bangsa tidak akan maju, sebelum adanya guru yang mau berkorban untuk kemajuan bangsa tersebut pernyataan ini dikutip oleh Natsir, karena pada saat itu minat kalangan akademik untuk menjadi guru sudah mulai menuru. Berkaitan dengan masalah ini, Natsir menulis artikel dengan kalimat pembuka : “ Sekarang saya mempropagandakan pendidikan, tetapi nanti saya tidak dapat mendidik anak – anak saya “. Pernyataan kalimat tersebut merupakan salah satu alasan yang dikemukakan seorang lulusan HIK yang pernah menjadi pemuka dari organisasi guru – guru di Indonesia. Dari ungkapan itu Natsir memahami mengapa guru tamatan HIK menukar pekerjaannya ( alih profesi ) dari yang semula sebagai guru menjadi pegawai pos.

Sistem pendidikan Belanda memang betul dapat memberikan bekal pengetahuan modern, keterampilan dan keahlian yang dibutuhkan oleh zaman, tapi saying jiwanya kerdil, dan dikotomis karena tidak memiliki landasan iman dan akhlak yang mulia. Di sisi lain pendidikan pesantren dan madrasah memang betul memberikan bekal akidah dan akhlak yang mulia, tapi tidak memberikan bekal ilmu pengetahuan modern, teknologi dan keterampilan yang memenuhi kebutuhan masyarakat sekarang.

Penutup

Tampaknya, gagasan dan pemikiran almarhum M. Natsir relevan dalam tinjauan perkembangan pendidikan dewasa ini.

Pertama, M. Natsir adalah tokoh nasional dan internasional yang memiliki integritas pribadi dan komitmen yang kuat untuk memajukan bangsa dan Negara

Kedua, M. Natsir selain sebagai seorang negarawan yang handal, ia juga termasuk pemikir dan arsitek pendidikan Islam yang serius.

Ketiga, sebagai pemikir dan arsitek pendidikan, Natsir selain menulis karya ilmiah yang berisikan gagasan dan pemikiran tentang pembaharuan dan kemajuan pendidikan Islam, ia juga sebagai praktisi dan pelaku pendidikan yang terbukti cukup berhasil.

Keempat, sebagai pemikir dan arsitek pendidikan, Natsir melihat bahwa masalah pokok untuk mengatasi keterbelakangan dalam pendidikan terletak pada tiga hal : (1) dengan merombak sistem yang dikotomis kepada system yang integrated antara ilmu agama dan umum, (2) dengan merombak kurikulum dari kurikulum yang dikotomis menjadi integrated, dan (3) dengan mempersiapkan guru yang komitmen dan dapat menjadi teladan bagi peserta didik.

Tidak ada komentar: