Pages

Jumat, 30 Juli 2010

Ketidakdewasaan Lembaga Legislatif Kita

Kita memilih wakil rakyat untuk duduk di kursi legislatif tentunya dengan suatu asumsi bahwa mereka memiliki kompetensi yang lebih dari kita yang tentunya akan bisa membimbing mereka untuk bersikap lebih beradab.

Hampir bisa dipastikan bahwa dalam lubuk hati setiap masyarakat Indonesia, selalu mengharapkan keadaan lembaga legislatif yang baik, yang mampu mengakomodasi seluruh aspirasi masyarakat demi terciptanya Indonesia yang lebih baik.

Namun, harapan masyarakat Indonesia untuk mendapatkan lembaga legislatif yang baik nampaknya masih sangat jauh dari kenyataan. Realita menunjukkan bahwa semakin hari keadaan lembaga legislatif kita tidak juga cenderung membaik.

Bukan keadaan ruangan atau gedung lembaga legislatif nya yang tidak baik, melainkan orang-orang yang duduk didalamnya yang membuatnya nampak buruk. Mungkin ada yang berkata bahwa ini hanyalah pekerjaan oknum-oknum tertentu. Namun perlu diingat bahwa sikap anggota dewan seperti itulah yang mencoreng keseluruhan lembaga legislatif. Seperti kata pepatah: karena nila setitik, rusak susu sebelanga.

Ketidakdewasaan

Sebagian (besar) anggota lembaga legislatif hingga sekarang masih saja memiliki ketidakdewasaan dalam bersikap. Hal inilah yang menjadi penyebab mengapa lembaga legislatif seringkali dicap buruk oleh masyarakat Indonesia sendiri.

Ketidakdewasaan sikap itu tercermin dari perilaku mereka selama mereka menjabat menjadi wakil rakyat. Korupsi, misalnya, menjadi contoh nyata bagaimana sikap mereka yang tidak cenderung dewasa ketika dengan sadar mencuri uang rakyat demi keuntungan pribadi semata. Seandainya mereka sudah dewasa, tentunya mereka bisa menilai bukan hanya dari kacamata pribadi, melainkan dari kacamata nurani mengenai baik atau buruknya korupsi.

Contoh lainnya yang bisa menjadi catatan penting betapa anggota lembaga legislatif kita cenderung tidak dewasa adalah perilaku bolos dan telat ketika hendak diadakan rapat. Hal ini nyata terjadi pada tanggal 14 September 2009 ketika DPR pada akhirnya harus menunda pelaksanaan pengesahan terhadap RUU tentang Kesehatan, RUU tentang Narkotika, RUU tentang Penetapan Perppu Penyelenggaraan Ibadah Haji, dan RUU tentang Keimigrasian selama kurang lebih 90 menit karena anggota yang hadir tidak mencapai kuorum.

Apakah mereka tidak menyadari tugas dan tanggung jawab mereka sebagai seorang wakil rakyat yang terpilih? Rakyat Indonesia membayar mereka dengan harapan bisa membawa negara ini berjalan ke arah yang lebih baik. Namun, bagaimana mungkin membawa bangsa Indonesia ini ke arah yang lebih baik jika ketika ingin merumuskannya saja mereka tidak ada?

Catatan penting lainnya terjadi baru-baru ini juga ketika pemerintah pada akhirnya memutuskan untuk menarik draf RUU Rahasia Negara. Rapat kerja yang diadakan oleh Komisi I DPR dengan pihak pemerintah hampir saja berujung pada adu jotos seperti yang dilansir Kompas.com tertanggal 16 September 2009. Uniknya, ketegangan ini terjadi bukan antara pihak anggota legislatif dan pemerintah, namun terjadi di kubu legislatif sendiri. Masalahnya sepele yakni karena adanya sikap saling sindir yang dinilai telah mengonfrontir timbulnya sikap berang salah satu pihak.

Seseorang yang sudah dewasa tentunya memiliki pengendalian emosi yang baik. Tidak harus ketika ia merasa disindir, lantas menjadi marah dan menantang untuk menyelesaikan dengan cara adu jotos. Pengendalian emosi yang baik dan melawan sindiran dengan pemikiran yang lebih kritis dan meyakinkan tentunya akan lebih menunjukkan kedewasaan sikapnya sebagai seorang manusia.

Masalah moral

Lantas, dengan ketidakdewasaan sikap yang dimiliki oleh anggota dewan, apa yang seyogianya diperbaiki?

Masalah moral tentu menjadi PR besar yang harus diselesaikan demi memberangus ketidakdewasaan sikap anggota dewan. Perbaikan moral dapat dilakukan melalui etika.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika berarti ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Berangkat dari pengertian ini, maka dapat terlihat dengan jelas pentingnya untuk mempelajari dan memahami etika serta mengaplikasikannya. Dengan begitu diharapkan anggota lembaga legislatif lebih mampu untuk menilai mana yang baik dan buruk, mana yang hak dan mana yang kewajiban mereka.

Namun penulis yakin bahwa setiap anggota lembaga legislatif pasti pernah mendapatkan etika melalui pelajaran sewaktu dia bersekolah atau melalui pergaulannya sehari-hari. Hanya saja, pengaplikasiannya masih sangat minim sebab terbentur banyak kepentingan dan tertutupnya hati nurani. Oleh sebab itu, penajaman hati nurani juga menjadi hal yang substansial.

Beretika dan memiliki hati nurani yang tajam tentunya dapat dilakukan -secara dominan- melalui diri sendiri. Semoga untuk ke depannya, anggota lembaga legislatif terpilih mau untuk mengaplikasikan etika dengan sungguh-sungguh serta memiliki hati nurani yang tajam. Ini semua demi bangkitnya citra positif lembaga legislatif Indonesia di mata rakyatnya sendiri.

Tidak ada komentar: